Thursday, January 6, 2011

Istighatsah

Pernyataan Abdullah Bin Baz bahwa Istighatsah itu syirik.

Dan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Saw ditanya “Dosa apakah yang paling besar?”, beliau menjawab “(Dosa yang paling besar) ialah kamu menjadikan (Tuhan) tandingan bagi Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu”.

Maka setiap orang yang menyeru selain Allah atau beristighatsah, bernadzar, menyembelih dan memberikan sesuatu dari jenis ibadah kepada selain Allah berarti ia telah menjadikannya sebagai tandingan bagi Allah, baik ia seorang Nabi, Wali, Malaikat, Jin, Berhala maupun makhluk–makhluk lainnya.

Adapun meminta tolong kepada seseorang yang masih hidup serta hadir untuk melakukan seseuatu yang dalam batas kemampuannya, tidaklah termasuk perbuatan syirik. Akan tetapi itu merupakan hal–hal biasa yang boleh dilakukan sesama kaum muslimin, sebagaimana yang diabadikan Allah dalam kisah Nabi Musa.
“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya” QS. Al Qashash : 15.

Dan dalam ayat lain tentang Musa, Allah berfirman: “Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu–nunggu dengan khawatir” QS. Al Qashash: 21.

Atau sebagaimana seseorang meminta bantuan teman–temannya dalam peperangan atau dalam situasi–situasi sulit lainnya, dimana sebagian orang membutuhkan bantuan sebagian yang lain.

Sesungguhnya Allah telah memerintahkan Nabi-Nya SWT untuk memaklumkan kepada umat manusia bahwa dirinya tidak mempunyai kemampuan untuk memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan mudharat. Allah berfirman :

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya”. Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan” QS. Al Jin: 20-21.

Dan dalam surat Al A’raaf, Allah berfirman “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak–banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang–orang yang beriman” QS. Al A’raaf: 188. Dan banyak lagi ayat–ayat yang semakna dengannya.

Nabi Saw tidak berdoa kecuali kepada Tuhannya dan tidak meminta pertolongan melainkan kepada-Nya. ketika perang Badr, beliau (saw) memohon bantuan (istighatsah) dan pertolongan untuk mengalahkan musuhnya kepada Allah.Tidak henti–hentinya beliau (saw) memohon dan bermunajat
kepada Allah seraya berkata “Wahai Tuhanku! Tunaikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku!”, sampai–sampai AbuBakar As-Shiddiq merasa belas kasihan kepadanya dan berkata “Cukuplah sudah, wahai Rasulullah engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Allah pasti akan menepati janji-Nya kepadamu” lalu Allah menurunkan firman-Nya:

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut–turut”. Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tentetam karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” QS. Anfaal: 9-10.

Di dalam ayat–ayat ini Allah mengingatkan mereka saat mereka memohon bantuan kepada-Nya. Kemudian Allah mengabarkan bahwa Dia telah mengabulkan permintaan mereka dengan mengirim bala bantuan malaikat–malaikat. Kemudian Dia menjelaskan bahwa kemenangan yang mereka raih itu bukan karena bantuan malaikat itu, akan tetapi hanya sekedar untuk menentramkan hati mereka dengan kemenangan itu datangnya dari sisi Allah. dan di dalam surat Ali Imran, Allah berfirman “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badr, padahal kamu adalah (ketika itu) orang–orang yang lemah. Karena itu bertawakkal kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” QS. Ali Imran: 123.

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dia-lah Sang Penolong mereka pada hari peperangan Badr. dengan demikian, diketahui bahwa apa yang diberikan-Nya kepada mereka berupa keselamatan, kekuatan dan bala bantuan malaikat, semua itu hanyalah sebagai sebab (sarana yang diberikan Allah) untuk mendapatkan kemenangan, kegembiraan dan ketentraman. Dan pada hakikatnya kemenangan itu bukan karena sebab–sebab itu, akan tetapi berasal dari Allah semata.

Oleh sebab itu, bagaimana mungkin penulis wanita ini dan selainnya menunjukkan permohonan bantuan dan pertolongan kepada Nabi Saw dan berpaling dari Tuhan semesta alam, Yang Maha Memiliki dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu?! Tidak diragukan lagi, ini adalah kebodohan yang nista bahkan merupakan syirik besar.

Jawaban Habib Munzir Al Musawa:

Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam,

Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat iamasih hidup atau telah wafat, karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt, ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian.

Sama saja ketika seorang berkata bahwa hanya dokter lah yang bisa menyembuhkan dan tak mungkin kesembuhan datang dari selain dokter, maka ia telah membatasi Kodrat Allah swt untuk memberikan kesembuhan, yang bisa saja lewat dokter, namun tak mustahil dari petani, atau bahkan sembuh dengan sendirinya.

Terkadang kita tak menyadari bahwa kita lebih banyak mengambil manfaat dalam kehidupan ini dari mereka yang telah mati daripada yang masih hidup, sungguh peradaban manusia, tuntunan ibadah, tuntunan kehidupan, modernisasi dlsb, kesemua para pelopornya telah wafat, dan kita masih terus mengambil manfaat dari mereka, muslim dan non muslim, seperti teori Einstein dan teori–teori lainnya, kita masih mengambil manfaat dari yang mati hingga kini, dari ilmu mereka, dari kekuatan mereka, dari jabatan mereka, dari perjuangan mereka, cuma bedanya kalau mereka ini kita ambil manfaatnya berupa ilmunya, namun para shalihin, para wali dan muqarrabin kita mengambil manfaat dari imannya dan amal shalihnya, dan ketaatannya kepada Allah.

Rasul saw memperbolehkan Istighatsah, sebagaimana hadits beliau saw: “Sungguh matahari mendekat dihari kiamat hingga keringat sampai setengah telinga, dan sementara mereka dalam keadaan itu mereka beristighatsah (memanggil nama untuk minta tolong) kepada Adam, lalu mereka beristighatsah kepada Musa, Isa, dan kesemuanya tak mampu berbuat apa apa, lalu mereka beristighatsah kepada Muhammad saw” (Shahih Bukhari hadits no.1405), juga banyak terdapat hadits serupa pada Shahih Muslim hadits No.194, shahih Bukhari hadits No.3162, 3182, 4435, dan banyak lagi hadist–hadits shahih yang Rasul saw menunjukkan ummat manusia beristighatsah pada para Nabi dan Rasul, bahkan Riwayat Shahih Bukhari dijelaskan bahwa mereka berkata pada Adam, Wahai Adam, sungguh engkau adalah ayah dari semua manusia.. dst.. dst...

Dan Adam as berkata: “Diriku..diriku.., pergilah pada selainku.., hingga akhirnya mereka berIstighatsah memanggil–manggil Muhammad saw, dan Nabi saw sendiri yg menceritakan ini, dan menunjukkan beliau tak mengharamkan Istighatsah.

Maka hadits ini jelas-jelas merupakan rujukan bagi istighatsah, bahwa Rasul saw menceritakan bahwa orang-orang beristighatsah kepada manusia, dan Rasul saw tidak mengatakannya syirik, namun jelaslah Istighatsah di hari kiamat ternyata hanya untuk Sayyidina Muhammad saw.

Demikian pula diriwayatkan bahwa dihadapan Ibn Abbas ra ada seorang yang keram kakinya, lalu berkata Ibn Abbas ra: “Sebut nama orang yang paling kau cintai..!”, maka berkata orang itu dengan suara keras.. : “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah sakit keramnya (diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam Tabrani dengan sanad hasan) dan riwayat ini pun diriwayatkan oleh Imam Nawawi pada Al Adzkar.

Jelaslah sudah bahwa riwayat ini justru bukan mengatakan musyrik pada orang yang memanggil nama seseorang saat dalam keadaan tersulitkan, justru Ibn Abbas ra yang mengajari hal ini.

Kita bisa melihat kejadian Tsunami di aceh beberapa tahun yang silam, bagaimana air laut yang setinggi 30 meter dengan kecepatan 300km dan kekuatannya ratusan juta ton, mereka tak menyentuh masjid tua dan makam makam shalihin, hingga mereka yg lari ke makam shalihin selamat, inilah bukti bahwa Istighatsah dikehendaki oleh Allah swt, karena kalau tidak lalu mengapa Allah jadikan di makam–makam shalihin itu terdapat benteng yang tak terlihat membentengi air bah itu, yang itu sebagai isyarat Ilahi bahwa demikianlah Allah memuliakan tubuh yang taat pada Nya swt, tubuh tubuh tak bernyawa itu Allah jadikan benteng untuk mereka yang hidup.., tubuh yang tak bernyawa itu Allah jadikan sumber meniti kesempurnaan iman
Rahmat dan perlindungan Nya swt kepada mereka–mereka yang berlindung dan lari ke makam mereka.

Kesimpulannya: mereka yang lari berlindung pada hamba–hamba Allah yang shalih mereka selamat, mereka yang lari ke masjid–masjid tua yang bekas tempat sujudnya orang–orang shalih maka mereka selamat, mereka yang lari dengan mobilnya tidak selamat, mereka yang lari mencari tim SAR tidak selamat.

Pertanyaannya adalah: kenapa Allah jadikan makam sebagai perantara perlindungan-Nya swt? kenapa bukan orang yang hidup? kenapa bukan gunung? kenapa bukan perumahan?.

Jawabannya bahwa Allah mengajari penduduk bumi ini beristighatsah pada shalihin. (Walillahittaufiq)

Peringatan Malam Nishfu Sya’ban

Pernyataan Abdullah Bin Baz bahwa memperingati malam nishfu sya’ban adalah bid’ah.

Allah Ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” Qs. Al Maidah: 3.

“Apakah mereka mempunyai sembahan–sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” QS. Asy Syura: 21.

Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, ‘Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang mengada adakan dalam urusan agama kami maka hal itu akan ditolak (tidak diterima)”.

Dalam Shahih Muslim dari Jabir radiyallahu anhum bahwa Nabi Saw bersabda :

“Sesungguhnya sebaik–baik perkataan adalah Al Quran, sebaik–baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw, sejelek–jelek perkara adalah hal–hal yang diada–adakan di dalam agama (bid’ah) dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.

Banyak lagi ayat dan hadits lain yang senada dengan ayat dan hadits diatas yang secara tegas menunjukkan bahwa Allah telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya untuk umat ini dan Rasulullah Saw sebelum wafatnya telah menyampaikan secara lengkap dan jelas kepada umat semua apa yang disyari’atkan Allah, baik berupa perkataan maupun amal perbuatan.

Rasulullah Saw juga telah menjelaskan bahwa apa saja yang diada–adakan oleh orang–orang yang datang sesudahnya dan mereka nisbatkan kepada Islam baik berupa perkataan maupun amal perbuatan, maka semua itu adalah bid’ah yang ditolak dan tidak diterima, sekalipun diada–adakan oleh pelakunya atas niat dan tujuan yang baik.

Hal itu telah diketahui oleh para sahabat dan para ulama yang datang setelah mereka. Oleh karena itu, mereka mengingkari segala bentuk bid’ah dan mengingatkan manusia untuk tidak terjerumus kedalamnya, sebagaimana yang tertera dalam karya–karya Ibnu Wadhdhah, Thurthusyi, Abu Syamah dan lainnya, tentang pengagungan Sunnah dan pengingkaran terhadap bid’ah.

Di antara bid’ah yang diada–adakan oleh sebagian orang adalah memperingati malam pertengahan Sya’ban serta mengkhususkan hari tersebut untuk berpuasa. Padahal, tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sebagai landasannya. Memang ada beberapa hadits lemah yang menjelaskan fadhilahnya namun tidak bisa dijadikan landasan. Sedangkan hadits–hadits yang menjelaskan keutamaan shalat di hari itu, menurut kebanyakan ahli hadits semuanya adalah hadits palsu. Berikut ini akan kita paparkan sebagian dari komentar mereka. Terdapat juga beberapa atsar dari sebagian salaf dari kalangan penduduk Syam dan selain mereka.
Telah menjadi kesepakatan jumhur ulama bahwa memperingati malam tersebut adalah bid’ah. Hadits–hadits yang menjelaskan tentang keutamaannya adalah dhaif (lemah) bahkan sebagiannya adalah palsu, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif” dan lainnya.

Hadits dha’if baru boleh diamalkan dalam hal ibadah yang sudah ada dasarnya dari hadits–hadits yang shahih, sedangkan memperingati Nishfu Sya’ban tidak ada satupun dasarnya dari hadits yang shahih sehingga bisa dijadikan alasan untuk mengamalkan hadits dha’if tersebut. Kaidah ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah.

Wahai para pembaca, berikut ini saya akan nukil kepada anda perkataan sebagian ulama tentang masalah ini, sehingga benar–benar dipahami.

Para ulama telah sepakat bahwa kita wajib mengembalikan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Apa yang tertera dalam keduanya atau salah satunya itulah syari’at yang wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka wajib ditolak. Apapun bentuk ibadah yang tidak tertera dalam keduanya adalah bid’ah yang tidak boleh diamalkan apalagi menganjurkan orang lain untuk melakukannya, Allah berfirman :

“Hai orang–orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan Ulil Amri (pemimpin) diantara kamu” QS. Asy Syura: 10.

“Katakanlah: “Jika kamu benar–benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa–dosamu” Qs. Ali Imran: 31.

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya” QS. An Nisa: 59.

Banyak lagi ayat–ayat lain yang senada dengan itu. Ayat–ayat tersebut dengan tegas menunjukkan akan kewajiban untuk mengembalikan permasalahan–permasalahan yang diperselisihkan kepada Al Quran dan Sunnah serta ridha dengan hukum yang ada pada keduanya. Dan hal itu merupakan konsekwensi iman serta kemaslahatan bagi para hamba di dunia dan akhirat kelak.

Al Hafiz Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif” dalam masalah ini menjelaskan sebagai berikut :
“Para tabi’in dari kalangan penduduk Syam seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan lainnya, mereka memuliakan malam Nishfu Sya’ban dan melakukan ibadah sebanyak mungkin padanya. Dari merekalah orang–orang mengambil keutamaan dan kebesaran malam tersebut. Dan menurut satu pendapat, mereka menerima beberapa Atsar Israiliyyat.

Tatkala hal ini masyhur bersumber dari mereka di mana–mana, para ulama berselisih pendapat dalam menanggapinya. Ada yang menerima dan menyetujui mereka dalam membesarkan malam tersebut seperti sebagian ahli ibadah dari kalangan penduduk Bashrah dan selain mereka. Sedangkan mayoritas ulama Hijaz mengingkarinya seperti “Atha dan Ibnu Abi Mulaikah dan Fuqaha (ulama fiqih) Madinah seperti dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Ini adalah pendapat para pengikut Imam Malik dan selain mereka, semua mereka mengatakan bid’ah”.

Para ulama dari Syam sendiri, berselisih pendapat tentang teknis menghidupkan malam tersebut.

Pendapat pertama:
Disunnahkan menghidupkan malam tersebut secara berjama’ah dalam masjid. Khalid bin Ma’dan, luqman bin‘Amir dan lainnya, memakai pakaian yang terbagus pada malam tersebut, memakai harum–haruman dan bercelak, lalu mereka beribadah di masjid. Hal ini disetujui pula oleh Ishak bin Rahawaih, beliau berkata tentang menghidupkannya di masjid secara berjama’ah. Hal ini tidaklah termasuk bid’ah”, dinukil darinya oleh Al Karmani dalam “Al Masaail”.

Pendapat kedua:
Makruh hukumnya berkumpul di masjid pada malam tersebut, baik untuk shalat, bercerita dan berdoa. Tetapi tidak makruh bagi seseorang yang melakukan shalat (beribadah) pada malam itu dengan sendirian. Ini adalah pendapat Awza’i, seorang ulama dan ahli fiqih dari Syam.

Pendapat ini Insya Allah lebih dekat kepada kebenaran.

Sedangkan Imam Ahmad, tidak diketahui komentar beliau secara tegas tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban. Namun dapat ditakhrij dari beliau dua riwayat berdasarkan dua riwayat pendapat beliau dalam masalah menghidupkan malam dua hari raya untuk ibadah. Dalam satu riwayat beliau mengatakan, tidak mustahab (dianjurkan) menghidupkan malam tersebut secara berjama’ah karena hal itu tidak ada sama sekali dinukil dan Nabi Saw juga para sahabat.

Dalam riwayat lain, beliau mengatakan hal itu mustahab berdasarkan apa yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Yazid bin Aswad dari kalangan tabi’in. begitu pula halnya dengan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban untuk beribadah, tidak ada dinukil dari Nabi Saw dan juga para sahabatnya, hanya saja sekelompok tabi’in dari kalangan ulama Syam pernah melakukannya.

Demikianlah, secara ringkas perkataan Al Hafiz Ibnu Rajab dalam masalah tersebut. Secara tegas beliau mengatakan bahwa tidak ada sama sekali dinukil dari Nabi Saw dan para sahabatnya tentang beribadah secara khusus pada malam Nishfu Sya’ban. Sedangkan pendapat Awza’i tentang dianjurkannya beribadah pada malam tersebut secara perorangan dan diikuti oleh Al Hafiz Ibnu Rajab adalah lemah, karena segala sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam syari’at maka hal itu tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim baik secara berjama’ah atau sendirian baik secara sembunyi ataupun terang–terangan, berdasarkan sabda Nabi Saw:

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu akan ditolak”.Dan dalil–dalil umum lainnya yang menunjukkan pengingkaran terhadap perbuatan bid’ah dan menghindarinya.

Imam Abu Bakar Ath Tharthusyi dalam bukunya “Al Hawadits Wal Bida”, mengatakan “Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, beliau berkata: Kami tidak mendapatkan seorang pun diantara guru dan ulama kami, yang memberikan perhatian khsusus kepada malam Nishfu Sya’ban. Mereka juga tidak menoleh (berhujjah) kepada hadits Makhul dan tidak pula melihat adanya keutamaan khusus beribadah pada malam tersebut”.

Seseorang mengatakan kepada Ibnu Abi Maikah bahwa Ziyad An Numairi berkata: “Sesungguhnya pahala beribadah pada malam Nishfu Sya’ban sama dengan pahala beribadah pada malam “Lailatul Qadar”. Beliau menjawab “Kalaulah aku yang mendengarnya, kemudian di tanganku ada tongkat, niscaya aku akan memukulnya. Ziyad terkenal sebagai seorang ahli bercerita”.

Imam AsySyaukani dalam bukunya “Al Fawaid Majmu’ah” berkata “Hadits yang berbunyi:
“Hai Ali, barangsiapa yang melakukan shalat seratus raka’at pada malam Nishfu Sya’ban, yang mana pada setiap raka’at dia membaca Al Fatihah dan Surat Al Ikhlas sebanyak sepuluh kali maka Allah akan memenuhi semua hajatnya”.

Hadits tersebut adalah palsu, dari lafal yang menerangkan ganjaran pahala bagi pelakunya. Seorang yang berakal, tidak akan menragukan keapalsuannya, disamping sanadnya yang majhul (tidak dikenal). Hadits ini juga diriwayatkan dari dua jalur sanad yang lain, tetapi semuanya adalah palsu dan para rawinya majhul (tidak dikenal)”.

Dalam bukunya “Al Mukhtashar” Imam Syaukani berkata “Hadits tentang shalat pada Nishfu Sya’ban adalah bathil. Adapun riwayat Ibnu Hibban dari Ali “Apabila datang malam Nishfu Sya’ban, maka lakukanlah qiyamullail dan berpuasalah pada siangnya, adalah lemah”.

Dalam bukunya “Allaali” Imam Suyuti berkata “Seratus raka’at pada malam Nishfu Sya’ban (dengan membaca) Al Ikhlas sepuluh kali”, beserta banyak lagi keutamaan lainnya yang diriwayatkan oleh Dilami dan lainnya adalah maudhu’ (palsu), mayoritas perawinya pada ketiga jalur sanadnya adalah majhul dan dhaif”. Dia juga berkata “Dua belas raka’at dan empat belas raka’at dengan (membaca surat) Al Ikhlas tiga puluh kali (pada setiap raka’at) adalah maudhu’ (palsu)”.

Sebagian ahli fiqih, seperti pengarang buku “Ihya Ulumuddin”, begitu juga sebagian ahli tafsir terkecoh dan berpegang dengan hadits tersebut.

Hadits tentang melakukan shalat pada malam Nishfu Sya’ban telah diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad yang berbeda–beda. Namun semuanya adalah bathil dan maudhu’.

Ini tidak bertantangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits ‘Aisyah yang menjelaskan perginya rasulullah Saw ke Baqi’ dan turunnya Tuhan pada Nishfu Sya’ban ke langit dunia, menagmpunkan dosa–dosa manusia sekalipun lebih banyak dari bulu–bulu domba Nabi Kalb. Karena pembicaraan disini adalah tentang shalat yang dibuat–buat pada malam tersebut. Disamping itu, sanad hadits ‘Aisyah itu lemah dan terputus, begitu juga hadits Ali diatas yang menganjurkan qiyamul lail pad malam itu. Ini tidak menafikan kedudukan shalat ini sebagai yang diada–adakan, di samping lemahnya hadits tersebut, sebagaimana yang telah kita uraikan.

Al Hafizh Al ‘Iraqi berkata “Hadits tentang shalat malam Nishfu Sya’ban adalah maudhu’ dan bohong terhadap Rasulullah Saw”. Imam Nawawi dalam bukunya “Al Majmu” berkata “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib, yaitu dua belas raka’at antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at yang pertama dari bulan Rajab, begitu juga shalat malam Nishfu Sya’ban seratus raka’at, kedua–duanya disebutkan dalam buku “Quutul Quluub” dan buku “Ihya Ulumuddin”,

dan karena adanya hadits yang menjelaskan keduanya. Karena semua itu adalah bathil. Dan juga jangan terpedaya dengan beberapa ulama yang menulis tentang dianjurkannya kedua macam shalat tersebut, karena mereka dalam hal ini adalah shalat”.

Syaikh Imam Abu Muhammad Abdur Rahmabbin Ismail Al Maqdisi telah menulis sebuah buku yang sangat berharga dan bagus sekali tentang kebathilan kedua macam shalat tersebut.

Perkataan ulama dalam masalah ini banyak sekali dan akan sangat panjang lebar kalau kita menukil seluruhnya. Semoga apa yang telah kita paparkan, bias memuaskan para pembaca.

Dari ayat–ayat, hadits–hadits dan perkataan ulama diatas, jelaslah bagi siapa saja menginginkan kebenaran bahwa memperingati dan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat dan ibadah lainnya serta mengkhususkan siangnya dengan puasa adalah bid’ah yang munkar menurut pendapat kebanyakan ulama, dan tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at. Bahkan ia merupakan hal yang diada–adakan dalam Islam setelah masa para sahabat. Dan cukuplah bagi siapa saja menginginkan yang haq dalam masalah ini, firman Allah :

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” Qs. Al Maidah: 3.

Dan ayat–ayat lain yang semakna dengannya, begitu pula sabda Rasulullah Saw “Barangsiapa yang mengada–adakan dalam urusan agama kami tanpa ada dasarnya, maka hal itu akan ditolak (tidak diterima)”. Dan hadits–hadits lain yang senada dengannya.

Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhum, Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at daripada malam–malam lainnya dengan shalat dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya dengan puasa kecuali kalau itu adalah puasa yang telah dibiasakan oleh salah seorang kamu”.

Seandainya boleh kita mengkhususkan suatu malam untuk ibadah tertentu, tentu malam Jum’at lebih patut untuk hal itu daripada malam lainnya karena Jum’at adalah hari yang paling baik daripada hari–hari yang ada. Berdasarkan beberapa hadits yang shahih dari Rasulullah Saw. Kalau Rasulullah Saw telah melarang kita untuk mengkhususkan malamnya dengan ibadah, tentu mengkhususkan malam–malam yang lain dengan ibadah tertentu akan lebih terlarang lagi. Maka tidak boleh mengkhususkan malam tertentu dengan ibadah tertentu kecuali berdasarkan hadits shahih yang menunjukkan pengkhususan tersebut.

Seperti malam Lailatul Qadar dan malam–malam Ramadhan, tatkala disyari’atkan untuk menghidupkan dan memperbanyak ibadah padanya maka Rasulullah Saw mengingatkan bahkan menghasung umat untuk melakukan qiyamullail di malam–malam tersebut. Dan beliau sendiri melakukannya, sebagaimana yang tertera dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Saw bersabda:

“Barangsiapa yang melakukan qiyam pada (malam–malam) Ramadhan dengan penuh rasa aman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampunkan dosa–dosanya yang telah lalu. Barangsiapa yang melakukan qiyam pada malam lailatul qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampunkan dosa–dosanya yang telah lalu”.

Seandainya disyari’atkan untuk mengkhususkan ibadah tertentu pada malam Nishfu Sya’ban atau malam Jum’at yang pertama dari bulan Rajab atau malam Isra’ dan Mi’raj maka pasti Rasulullah Saw menghasung umat untuk melakukannya dan Beliau sendiri akan mengamalkannya. Dan kalau hal itu ada terjadi, niscaya para sahabat menukilnya kepada umat dan mereka pasti tidak akan menyembunyikannya karena mereka adalah sebaik–baik pemberi nasehat setelah para Nabi. Semoga Allah meridhai para sahabat Rasulullah Saw.
Di atas telah anda ketahui bahwa tidak ada satupun nukilan yang shahih dari Rasulullah Saw dan para sahabat dari rasulullah Saw dan para sahabat tentang keutamaan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab, begitu pula malam Nishfu Sya’ban. Maka memperingati keduanya merupakan perbuatan bid’ah yang munkar. Begitu pula dengan malam kedua puluh tujuh Rajab, yang diyakini sebagian orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj. Tidak boleh mengkhususkannya dengan ibadah tertentu, begitu pula merayakannya berdasarkan dalil–dalil diatas.

Ini kalau benar terjadi pada malam tersebut, padahal menurut pendapat ulama yang benar bahwa malam Isra’ dan Mi’raj itu tidak diketahui. Adapun pendapat yang mengatakan terjadinya pada malam kedua puluh tujuh Rajab adalah bathil. Tidak ada hadits shahih yang mendasarinya. Benarlah apa yang dikatakan seorang ulama pujangga.

“Sebaik-baik perkara adalah yang dilakukan berdasarkan petunjuk, sedangkan sejelek-jelek perkara (dalam agama) adalah perbuatan bid’ah yang diada–adakan”.

Jawaban Habib Munzir Al Musawa:

Mengenai doa dimalam nisfu sya’ban adalah sunnah Rasul saw, sebagaimana hadits-hadits berikut:
Sabda Rasulullah saw: “Allah mengawasi dan memandang hamba hamba Nya di malam nisfu sya’ban, lalu mengampuni dosa dosa mereka semuanya kecuali musyrik dan orang yang pemarah pada sesama muslimin” (Shahih Ibn Hibban hadits no.5755).

Berkata Aisyah ra: “Disuatu malam aku kehilangan Rasul saw, dan kutemukan beliau saw sedang di pekuburan Baqi’, beliau mengangkat kepalanya kearah langit, seraya bersabda: “Sungguh Allah turun ke langit bumi di malam nisfu sya’ban dan mengampuni dosa dosa hamba-Nya sebanyak lebih dari jumlah bulu anjing dan domba” (Musnad Imam Ahmad hadits No.24825).

Berkata Imam Syafii rahimahullah: “Doa mustajab adalah pada 5 malam, yaitu malam jumat, malam idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan rajab, dan malam nisfu sya’ban” (Sunan Al Kubra Imam Baihaqiy juz 3 hal 319).

Dengan fatwa ini maka kita memperbanyak doa di malam itu, jelas pula bahwa doa tak bisa dilarang kapanpun dan dimanapun, bila mereka melarang doa maka hendaknya mereka menunjukkan dalilnya?,

Bila mereka meminta riwayat cara berdoa, maka alangkah bodohnya mereka tak memahami caranya doa, karena caranya adalah meminta kepada Allah.

Pelarangan akan hal ini merupakan perbuatan mungkar dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Sungguh sebesar-besarnya dosa muslimin dengan muslim lainnya adalah pertanyaan yang membuat hal yang halal dilakukan menjadi haram, karena sebab pertanyaannya”(Shahih Muslim).

1.Waktunya adalah 14 sya’ban malam 15 sya’ban

2.Yang paling pokok adalah berdoa, karena memang ada pendapat para Mufassirin bahwa malam nisfu sya’ban adalah malam ditentukannya banyak takdir kita, walaupun pendapat yang lebih kuat adalah pd malam lailatul qadar.

Namun bukan berarti pendapat yang pertama ini batil, karena diakui oleh para muhadditsin, bisa saja saya cantumkan seluruh fatwa mereka akan malam nisfu sya’ban beserta bahasa arabnya, namun saya kira tak perlulah kita memperpanjang masalah ini pada orang yang dangkal pemahaman syariahnya,

Para ulama kita menyarankan untuk membaca surat Yaasiin 3x, itu pula haram seseorang mengingkarinya, kenapa dilarang? apa dalilnya seseorang membaca surat Alqur’an? melarangnya adalah haram secara mutlak.
Sebagaimana Imam Masjid Quba yg selalu menyertakan surat Al Ikhlas bila ia menjadi Imam, selalu ia membaca surat Al Ikhlas di setiap rakaatnya setelah surat AlFatihah, ia membaca AlFatihah, lalu Al Ikhlas, baru surat lainnya, demikian setiap rakaat ia lakukan, dan demikian pada setiap shalatnya, bukankah ini kebiasaan yg tak diajarkan oleh Rasul saw?bukankah ini menambah nambahi bacaan dalam shalat?.

Maka makmumnya berdatangan pada Rasul saw seraya mengadukannya, maka Rasul saw memanggilnya dan bertanya mengapa ia berbuat demikian, dan orang itu menjawab Inniy Uhibbuhaa (aku mencintainya), yaitu ia mencintai surat Al Ikhlas, hingga selalu menggandengkan Al Ikhlas dengan Alfatihah dalam setiap rakaat dalam shalatnya.

Apa jawaban Rasul saw?, beliau bersabda: “Hubbuka iyyahaa adkhalakal Jannah (cintamu pada surat Al Ikhlas itulah yang akan membuatmu masuk sorga)” hadits ini dua kali diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.

Dan shahih Bukhari adalah kitab hadits yang terkuat dari seluruh kitab hadits lainnya untuk dijadikan dalil.
Akan jelaslah Rasul saw tak melarang berupa ide–ide baru yang datang dari iman, selama tidak merubah syariah yang telah ada, apalagi hal itu merupakan kebaikan.

Dan doa nisfu sya’ban adalah mulia, apa yg diminta? panjang umur dalam taat pada Allah, diampuni dosa dosa, diwafatkan dalam husnul khatimah.

Salahkah doa seperti ini? akankah perkumpulan seperti ini dibubarkan dan ditentang?.

Tunjukkan pada saya satu hadits shahih atau dhoif yang melarang doa di malam nisfu sya’ban? tidak ada!!.
Beramal dengan hadits dhoif adalah boleh, bukan dijadikan dalil hukum syariah, bukan dijadikan dalil hukum fardhu atau hukum jinayat atau hukum syariah lainnya, mereka tak bisa membedakan antara amal ibadah mustahab dengan hukum fardhu dan syara.

Nisfu sya’ban tak ada perayaan, siapa pula yang merayakannya? cuma wahabi saja yang menuduhnya, kalau untuk partai mereka sih, ngga pake bid’ah dan musyrik, walau pakai pesta kampanye dan memajang foto–fotonya di masjid dan dimana-mana, itu sih tidak mengapa, juga hari ulang tahun partainya, buat pesta besar-besaran dengan menggelar musik dangdut, itu sih tidak mengapa tapi nisfu sya’ban bid’ah.

Mengenai fatwa Imam syafii tentunya Imam Syafii lebih mulia dari seribu Bin Baz, karena Imam syafii sudah menjadi Imam sebelum Imam Bukhari lahir, dan ia adalah guru dari Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal itu hafal 1.000.000 hadits dg sanad dan matannya.

Dan Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “20 tahun aku berdoa setiap malam untuk Imam syafii, dan Imam Syafii adalah Imam besar yang ratusan para Imam mengikuti madzhabnya”.

Mengenai Imam Ghazali beliau adalah Hujjatul Islam, telah hafal lebih dari 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya.
Beda dengan para wahabi yang diakui sebagai imam padahal mereka tak satupun sampai ke derajat Al Hafidh (hafal 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya), tapi fatwanya menghukumi hadits-hadits seakan mereka itu para Nabi, dan ulama lain adalah bodoh.

Membuat Bangunan atau Membangun Masjid diatas Kuburan

Pernyataan Abdullah bin Baaz mengenai larangan membuat bangunan ataupun membangun masjid diatas kuburan.

Seseorang bertanya: “Di kalangan kami ada di antara pemuka–pemuka sufi yang kerjanya membuat kubah dan bangunan diatas kuburan. Orang–orang meyakini keshalihan dan keberkahan pada mereka.

Kalau hal ini tidak disyaria’atkan maka tolong mereka dinasehati karena mereka adalah panutan di tengah–tengah masyarakat. Terima kasih, semoga Allah memberkahi”.

Syekh Abdul Aziz bin Baz menjawab:

Nasehat saya kepada para ulama sufi dan ulama lainnya, hendaklah mereka berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw dan mengajarkannya kepada manusia dan tidak mengikuti amalan generasi sebelumnya yang bertentangan dengan kedua sumber tersebut. Agama ini tidak berdasarkan taklid buta kepada syekh dan selain mereka tetapi agama ini berdasarkan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah, Rasulullah Saw bersabda:

“Allah telah melaknat kamu Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid”. ‘Aisyah berkata: “Rasulullah Saw (dalam hadits ini) memperingatkan agar mengindari perbuatan mereka”.

Dan diriwayatkan dari Ummu Salamah dan Ummu Habibah bahwa mereka menceritakan kepada Rasulullah Saw perihal gereja berikut lukisan–lukisan yang ada didalamnya yang pernah mereka lihat di Habasyah, kemudian Rasulullah Saw bersabda :

“Mereka itu apabila salah seorang yang shaleh diantara mereka meninggal, mereka bangun diatas kuburnya sebuah masjid dan mereka buat lukisan–lukisan tadi, mereka itulah sejelek–jelek makhluk di sisi Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ummu Habibah bahwa mereka menceritakan kepada Rasulullah Saw perihal gereja berikut lukisan–lukisan yang ada didalamnya yang pernah mereka lihat di Habasyah, kemudian Rasulullah Saw bersabda:

Rasulullah Saw telah mengkhabarkan bahwa orang yang membangun masjid diatas kuburan itu adalah sejelek–jelek makhluk. Demikian pula yang membuat lukisan si mayit di atas kuburannya karena hal itu merupakan faktor pemicu perbuatan syirik. Karena masyarakat ketika melihat ada masjid dan kubah–kubah diatas kuburan, otomatis mereka akan mengkultuskan dan mengagung–agungkan akan mayit (yang dikubur di bawah masjid tersebut) meminta pertolongan kepadanya, bernadzar untuknya dan berdoa serta mohon bantuan kepadanya. Ini merupakan syirik akbar.

Dalam hadits, Jundub bin Abdillah Al Bajali radiyallahu anhum yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku boleh menjadikan salah seorang uamtku sebagai kekasihku, niscaya aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Ingat! Sesungguhnya orang–orang yang sebelum kamu menjadikan kuburan para Nabi dan orang–orang yang shaleh diantara mereka sebagai masjid. Ingat! Janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kamu sekalian dari hal demikian”.

Hadits ini menunjukkkan keistimewaan Abu Bakar AshShiddiq, beliau adalah sahabat yang paling mulia dan baik sehingga kalaulah dibolehkan, Rasulullah Saw mengambil seorang khalil (kekasih), niscaya dia akan mengambil Abu Bakar sebagai khalilnya. Tetapi Allah melarangnya dari demikian agar cintanya hanya semata–mata tertuju kepada Allah karena khalil itu adalah tingkatan cinta dan kasih yang paling tinggi.
Hadist ini juga menunjukkan haramnya membangun dan membuat masjid di atas kuburan serta mencela orang yang melakukannya dalam tiga redaksi larangan:

Pertama: Mencela orang yang melakukannya

Kedua: Sabda beliau “Maka janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai masjid”

Ketiga: Sabda beliau “Sesungguhnya aku melarang kamu sekalian berbuat demikian”

Rasulullah Saw melarang membangun diatas kuburan dengan tiga bentuk larangan tersebut yaitu sabda beliau “Sesungguhnya orang–orang yang sebelum kamu menjadikan kuburan para Nabi dan orang–orang yang shaleh diantara mereka sebagai masjid”, kemudian beliau bersabda “Ingat! Janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai masjid”. Artinya janganlah kamu mencontoh mereka, sesungguhnya aku melarang kamu sekalian dari berbuat demikian. Ini merupakan larangan tegas membangun diatas kuburan dan menjadikannya sebagai masjid.

Hikmah dari larangan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh para ulama agar hal itu tidak menjadi jalan yang akan membuat seseorang terjebak ke perbuatan syirik akbar, seperti menyembah kepada para penghuni kubur, berdoa, bernadzar, beristighatsah, berkorban, memohon bantuan dan pertolongan kepada mereka yang telah mati, sebagaimana yang terjadi pada kuburan Badaawi, Hissi, Siti Nafisah, Zainab dan kuburan lainnya di Mesir. Begitu juga yang terjadi pada banyak kuburan yang ada di Sudan dan negara–negara Islam lainnya.

Dan hal ini juga terjadi pada kuburan Nabi yang ada di Madinah, kuburan Baqi’, kuburan Khadijah dan kuburan lainnya seperti yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji yang jahil. Maka mereka itu butuh sekali kepada bimbingan dan arahan yang benar dari para ulama. Dan mereka itu, baik itu ulama sufi dan ulama syari’ah secara umum wajib takut kepada Allah dan menasehati manusia dan mengajarkan agama kepada mereka serta mengingatkan agar mereka tidak membangun diatas kubur, atau membuat masjid atau kubah diatasnya serta bangunan-bangunan lainnya.

Jawaban Habib Munzir Al Musawa:

Rasul saw shalat ghaib di pekuburan umum, Rasul saw shalat jenazah (shalat ghaib) menghadap kuburan setelah dimakamkan di sebuah pemakaman, lalu bermakmum dibelakang beliau shaf para sahabat, beliau saw bertakbir dengan 4 takbir (Shahih Muslim hadits No.954).

Nabi saw shalat (shalat gaib) diatas kuburan (shahih Muslim hadits No.955).

Telah wafat seseorang yang biasa berkhidmat menyapu masjid, maka Rasul saw bertanya tentangnya dan para sahabat berkata bahwa ia telah wafat, maka Rasul saw bersabda: “Apakah kalian tak memberitahuku??” maka para sahabat seakan tak terlalu menganggap penting, mengabarkannya, maka Rasul saw berkata: “Tunjukkan padaku kuburnya!”, maka Rasul saw mendatangi kuburnya lalu menyalatkannya, seraya bersabda: “Sungguh penduduk pekuburan ini penuh dengan kegelapan, dan Allah menerangi mereka dengan shalatku atas mereka” (Shahih Muslim hadits No.956), hadits semakna pada Shahih Bukhari hadits no.1258).
Kita akan lihat ucapan para Imam :

1. Berkata Guru dari Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Imam Syafii rahimahullah: “Makruh memuliakan seseorang hingga menjadikan makamnya sebagai masjid, (*Imam syafii tidak mengharamkan memuliakan seseorang hingga membangun kuburnya menjadi masjid, namun beliau mengatakannya makruh), karena ditakutkan fitnah atas orang itu atau atas orang lain, dan hal yang tak diperbolehkan adalah membangun masjid diatas makam setelah jenazah dikuburkan, Namun bila membangun masjid lalu membuat didekatnya makam untuk pewakafnya maka tak ada larangannya”. Demikian ucapan Imam Syafii (Faidhul qadir Juz 5 hal.274).

2. Berkata Imam Al Muhaddits Ibn Hajar Al Atsqalaniy: “Hadits–hadits larangan ini adalah larangan shalat dengan menginjak kuburan dan diatas kuburan, atau berkiblat ke kubur atau diantara dua kuburan, dan larangan itu tak mempengaruhi sahnya shalat, (*maksudnya bilapun shalat diatas makam, atau mengarah ke makam tanpa pembatas maka shalatnya tidak batal), sebagaimana lafadh dari riwayat kitab Asshalaat oleh Abu Nai’im guru Imam Bukhari, bahwa ketika Anas ra shalat dihadapan kuburan maka Umar berkata: Kuburan..kuburan..!, maka Anas melangkahinya dan meneruskan shalat dan ini menunjukkan shalatnya sah, dan tidak batal”. (Fathul Baari Almayshur juz 1 hal 524).

3. Berkata Imam Ibn Hajar: “Berkata Imam Al Baidhawiy: ketika orang yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para Nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung–patungnya, maka Rasul saw melaknat mereka, dan melarang muslimin berbuat itu, tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabarruk dengan kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dengan merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yang dimaksud hadits itu”(Fathul Bari Al Masyhur Juz 1 hal 525).

Berkata Imam Al Baidhawiy: “Bahwa Kuburan Nabi Ismail as adalah di Hathiim (disamping Miizab di ka’bah dan di dalam Masjidil Haram) dan tempat itu justru afdhal shalat padanya, dan larangan shalat di kuburan adalah kuburan yg sudah tergali (Faidhulqadiir Juz 5 hal 251).

Kita memahami bahwa Masjidirrasul saw itu didalamnya terdapat makam beliau saw, Abubakar ra dan Umar ra, masjid diperluas dan diperluas, namun bila saja perluasannya itu akan menyebabkan hal yang dibenci dan dilaknat Nabi saw karena menjadikan kubur beliau saw ditengah–tengah masjid, maka pastilah ratusan Imam dan Ulama dimasa itu telah memerintahkan agar perluasan tidak perlu mencakup rumah Aisyah ra (makam Rasul saw).

Perluasan adalah di zaman Khalifah Walid bin Abdulmalik sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, sedangkan Walid bin Abdulmalik dibai’at menjadi khalifah pada 4 Syawal tahun 86 Hijriyah, dan ia wafat pada 15 Jumadil Akhir pada tahun 96 Hijriyah

Lalu dimana Imam Bukhari? (194 H-256 H), Imam Muslim? (206 H–261H), Imam Syafii? (150 H–204 H), Imam Ahmad bin Hanbal? (164 H–241 H), Imam Malik? (93 H–179 H), dan ratusan imam imam lainnya? apakah mereka diam membiarkan hal yang dibenci dan dilaknat Rasul saw terjadi di Makam Rasul saw?, lalu Imam-imam yg hafal ratusan ribu hadits itu adalah para musyrikin yg bodoh dan hanya menjulurkan kaki melihat kemungkaran terjadi di Makam Rasul saw??.

Munculkan satu saja dari ucapan mereka yang mengatakan bahwa perluasan Masjid nabawiy adalah makruh. apalagi haram.

Justru inilah jawabannya, mereka diam karena hal ini diperbolehkan, bahwa orang yang kelak akan bersujud menghadap Makam Rasul saw itu tidak satupun yang berniat menyembah Nabi saw, atau menyembah Abubakar ra atau Umar bin Khattab ra, mereka terbatasi dengan tembok, maka hukum makruhnya sirna dengan adanya tembok pemisah, yang membuat kubur–kubur itu terpisah dari masjid, maka ratusan Imam dan Muhadditsin itu tidak melarang perluasan masjid Nabawiy bahkan masjidil Haram pun berkata Imam Baidhawiy bahwa kuburan Nabi Ismail adalah di Masjidil Haram.

Kesimpulannya larangan membuat masjid diatas makam adalah menginjaknya dan menjadikannya terinjak–injak, ini hukumnya makruh, ada pendapat mengatakannya haram.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw

Pernyataan Abdullah Bin Baz bahwa memperingati Maulid Nabi Muhammad saw adalah bid’ah.

Segala puji bagi Allah dan semoga shalawat beriringan salam senantiasa tercurah untuk Rasulullah, keluarga, para sahabatnya dan untuk seluruh orang yang mengikuti petunjuknya.

Banyak sekali orang yang bertanya tentang hukum memperingati Maulid Nabi Saw dan berdiri bersama ketika peringatan berlangsung serta memberi salam kepada Nabi Saw dan hal lainnya yang dilakukan orang–orang pada peringatan tersebut.

Jawabannya: Tidak boleh memperingati hari maulid Nabi saw dan maulid siapapun, karena hal itu merupakan bid’ah yang diada–adakan dalam agama. Rasulullah Saw, Khulafaurrasyidin dan para Sahabat, begitu pula para tabi’in yang berada pada kurun terbaik tidak pernah melakukannya. Padahal mereka adalah orang yang paling mengerti dengan sunnah dan orang yang paling sempurna cintanya kepada Rasulullah Saw serta paling konsisten dalam mengikuti syari’atnya disbanding dengan orang–orang yang datang setelah mereka.

Nabi Saw bersabda:“Barangsiapa yang mengada–adakan dalam urusan agama kami tanpa dasarnya maka hal itu akan ditolak (tidak diterima)”.

Dalam hadits lain beliau bersabda:

“Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengannya dan hindarilah oleh kamu sekalian hal–hal yang diada–adakan dalam agama, sesungguhnya setiap hal yang diada–adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.

Dua hadits ini merupakan peringatan yang keras kepada kita agar tidak mengada–ada bid’ah dan mengamalkannya.

Allah Ta’ala berfirman di dalam Al Quran: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (Qs. Al Hasr: 7).

“Maka hendaklah orang–orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (Qs. An Nur: 63).

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Qs. Al Ahzab: 21).

“Orang–orang yang terdahulu lagi yang pertama–tama (masuk Islam) di antara orang–orang Muhajirin dan Anshar dan orang–orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga–surga yang mengalir sungai–sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama–lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (Qs. At Taubah: 100).

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku untukmu, dan telah Aku ridha Islam sebagai agama bagimu” (Qs. Al Maidah: 3). Dan banyak lagi ayat–ayat lain yang semakna dengan ini.

Dengan mengada–adakan semacam peringatan maulid, terkesan bahwa Allah Ta’ala belum menyempurnakan agama untuk umat ini dan Rasulullah Saw belum menyampaikan semua yang patut diamalkan oleh mereka maka generasi terakhir mengada–ada dalam agama sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah dengan keyakinan bahwa hal tersebut bisa mnedekatkan mereka kepada Allah. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini sangat berbahaya dan merupakan pembangkangan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena Allah telah menyempurnakan agama ini untuk para hamba-Nya untuk mereka. Begitu pula Rasulullah Saw telah menyampaikan risalahnya dengan sempurna. Tidak ada satupun jalan yang membawa umat ke surga, dan yang menjauhkan mereka dari api neraka kecuali Rasulullah Saw telah terangkan kepada mereka.

Di dalam hadits yang shahih dari Abdullah bin Amr radiyallahu anhum, Rasulullah Saw bersabda:

“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan diwajibkan atasnya agar menunjukkan umatnya kepada semua kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan mengingatkan mereka (agar menghindari) semua keburukan yang diketahuinya bagi mereka” (HR. Muslim).

Telah dimaklumi bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah Nabi terakhir dan yang paling mulia serta Nabi yang paling sempurna nasehat dan risalahnya.

Jikalau peringatan maulid ini termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Swt maka Rasulullah Saw pasti menyampaikannya kepada umat atau melakukannya semasa hidupnya atau dilakukan oleh para sahabat. Namun tidak ada satupun hal tersebut yang terjadi. Ini berarti dalam ajaran Islam dan merupakan hal yang diada–adakan yang mana Rasulullah Saw telah mengingatkan umat agar menghindarinya, sebagaimana telah disebutkan pada dua hadits yang lalu dan hadits–hadits lain yang semakna dengan itu, seperti sabda Rasulullah Saw ketika khutbah Jum’at.

“Selanjutnya: Sesungguhnya sebaik–baik perkataan adalah Al Quran, sebaik–baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw, sejelek–jelek perkara adalah hal–hal yang diada–adakan di dalam agama (bid’ah), setiap bid’ah itu adalah sesat” (HR. Muslim).

Sejumlah ulama secara tegas mengingkari dan melarang peringatan maulid, berdasarkan kepada dalil–dalil di atas dan dalil–dalil lainnya.

Sebagian ulama dari kalangan mutaakhirin membolehkannya selama tidak mengandung hal–hal yang munkar, seperti berlebihan dalam pujian–pujian kepada Rasulullah, campur baur antara laki–laki dan wanita, menggunakan alat–alat musik dan hal–hal lain yang tidak dibolehkan oleh syara’. Mereka menganggap hal itu merupakan bid’ah hasanah.

Padahal dalam kaidah syari’ah dikatakan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan manusia wajib dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah, Allah berfirman:

“Hai orang–orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar–benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).

Dan kita telah kembalikan masalah peringatan maulid ini kepada Al Quran dan kita dapatkan di dalamnya bahwa Allah memerintahkan kita semua untuk mengikuti seluruh yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan mengingatkan kita agar menjauhi semua yang dilarangnya. Al Quran juga memberitakan kepada kita bahwa Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama untuk umat ini, sedangkan peringata nmaulid tidak termasuk dalam apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ini berarti ia tidak termasuk ajaran agama yang telah disempurnakan Allah bagi kita dan Allah telah memerintahkan kita semua untuk mengikuti Rasulullah Saw.

Kita juga telah kembalikan permasalahan ini kepada Rasulullah Saw, kemudian kita tidak mendapatkan bahwa beliau pernah melakukan atau memerintahkannya.

Begitu pula para sahabat, mereka juga tidak pernah mengamalkannya.

Dengan demikian kita ketahui bahwa ia tidaklah termasuk ajaran agama kita tetapi hal itu meruapkan bid’ah yang diada–adakan dan mencontoh kaum Yahudi dan Nashrani dalam perayaan–perayaan mereka.

Maka jelaslah bagi siapa saja yang menginginkan yang haq bahwa perayaan maulid bukanlah bagian dari ajaran Islam tetapi ia adalah bid’ah yang dibuat–buat, yang mana Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk meninggalkan dan menghindarinya.

Tidaklah patut bagi seseorang yang berakal, tergiur dengan banyaknya orang yang melakukan hal tersebut di berbagai belahan dunia. Sesungguhnya ukuran kebenaran itu, bukanlah pada banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Tetapi, ukurannya adalah dalil–dalil syara’, sebagaimana Allah berfirman tentang orang–orang Yahudi dan Nashrani.

“Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata “sekali–kali tidak akan masuk surga kecuali orang–orang (yang beragama) Yahudi dan Nashrani, demikian itu hanya angan–angan mereka yang kosong belaka”. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang–orang yang benar” (QS. Al Baqarah: 111).

Allah berfirman: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang – orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (Qs. Al An’am: 116).

Di samping perayaan maulid tersebut adalah bid’ah, biasanya ketika acara berlangsung banyak mengandung kemunkaran lain, seperti campur baur laki–laki dan wanita, nyanyian dan alat–alat musik, minuman yang memabukkan, narkotika dan lain sebagainya. Bahkan terjadi juga hal yang lebih parah dari itu semua yaitu syirik akbar dengan menunjukkan sikap yang berlebihan terhadap Rasulullah Saw atau selainnya seperti para wali serta berdoa memohon pertolongan dan bantuan kepadanya dan meyakini bahwa dia mengetahui hal yang ghaib dan berbagai bentuk kekufuran lainnya yang dicontoh oleh kebanyakan orang yang menghadiri perayaan maulid Nabi Saw tersebut dariorang–orang yang mereka sebut sebagai wali–wali.

Di dalam hadits yang shahih Rasulullah Saw bersabda:

“Hindarilah oleh kamu sekalian bersikap ghuluw (berlebihan) dalam agama. Sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama itulah yang telah menyebabkan hancurnya orang–orang yang sebelum kamu”.
Dan Rasulullah Saw bersabda :

“Janganlah kamu sekalian berlebih–lebihan dalam memujiku sebagaimana orang–orang Nashrani berlebihan dalam memuji (Isa) putra Maryam, maka ucapkanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Bukhari dari Umar radiyallahu anhum).

Merupakan suatu hal yang aneh dan mengherankan bahwa banyak diantara manusia yang rajin dan bersemangat dalam menghadiri perayaan–perayaan bid’ah tersebut. Bahkan mereka membela dan mempertahankannya tapi disisi lain mereka meninggalkan hal–hal yang secara jelas diwajibkan Allah kepada mereka, seperti menghadiri shalat Jum’at dan shalat berjama’ah. Mereka tidak mengindahkannya dan tidak menganggap bahwa mereka dengan demikian telah berbuat kemunkaran yang besar. Ini jelas sekali, disebabkan oleh kelemahan iman serta minimnya pemahaman dan pengetahuan terhadap agama, disamping hati yang kotor yang telah dibalut oleh berbagai macam jenis dosa dan maksiat. Hanya kepada Allah kita memohon, keselamatan untuk kita dan seluruh kamu muslimin di dunia dan akhirat.

Di antara hal yang aneh juga bahwa sebagian mereka meyakini bahwa Rasulullah Saw hadir bersama mereka dalam acara maulid tersebut. Oleh karena itu mereka secara bersama–sama berdiri untuk menyambut dan memberi penghormatan kepada beliau. Ini merupakan kebathilan dan kebodohan yang nyata karena Rasulullah Saw tidak akan keluar dari kuburnya sebelum hari kiamat dan selama itu beliau tidak akan berhubungan dengan siapapun dan tidak akan hadir dalam pertemuan–pertemuan mereka. Akan tetapi beliau akan tetap tinggal di kuburnya sampai hari kiamat sedangkan ruh beliau berada di tempat tertinggi di sisi Allah di tempat yang mulia.

Allah berfirman: “Kemudian kamu sekalian setelah itu benar–benar akan mati, kemudian sesungguhnya kamu sekalian pada hari kiamat akan dibangkitkan (dari kuburmu)” (QS. Al Mukminun: 15-16).

Rasulullah Saw bersabda: “Aku adalah orang pertama yang akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan aku adalah orang pertama yang memberi syafa’at dan yang diizinkan memberi syafa’at”.

Ayat dan hadits diatas, begitu pula ayat–ayat dan hadits–hadits lain yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Nabi Saw and orang–orang yang meninggal dunia lainnya akan dibangkitkan dari kubur–kubur mereka pada hari kiamat. Ini telah merupakan Ijma’ (kesepakatan) para ulama. Maka setiap muslim harus hati–hati dalam hal ini, jangan sampai terjerumus kepada bid’ah bid’ah dan khurafat yang sengaja diada–adakan oleh orang–orang jahil dan yang sejenis dengan mereka. Hanya Allah tempat kita memohon pertolongan, hanya kepada-Nya kita berserah diri dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin-Nya.

Adapun mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah saw adalah termasuk ibadah dan amal shaleh yang paling afdhal (utama), sebagaimana firman Allah :

“Sesungguhnya Allah dan malaikat–malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang–orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya” (QS. Al Ahzab: 56).

Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku dengan satu shalawat maka Allah akan bershalawat (memberi Rahmat) kepadanya dengan sepuluh kali lipat”.

Shalawat tersebut disyari’atkan di setiap waktu, terutama penghujung shalat. Bahkan menurut sejumlah ulama. Hukumnya adalah wajib pada tasyahhud akhir dalam setiap shalat, dan sunah muakkad pada beberapa waktu, diantaranya adalah setelah adzan, ketika disebut nama Nabi Saw, pada hari Jum’at dan malamnya sebagaimana yang tertera dalam banyak hadits yang shahih.

Semoga Allah memberi taufiq kepada kita dan seluruh kamu muslimin untuk memahami dan mendalami Islam, serta konsisten dengannya dan menganugerahkan kepada kita semua kekuatan untuk tetap berpegang teguh kepada sunnah dan menjauhi bid’ah. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah dan Mulia.

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah untuk Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Jawaban Habib Munzir Al Musawa:

“Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw”. Ketika kita membaca kalimat disamping maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).

Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia.

Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.

Allah merayakan hari kelahiran para Nabi-Nya:

• Firman Allah: “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS. Maryam: 33).

• Firman Allah: “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS. Maryam: 15).

• Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits No.4177)

• Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang–bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang–benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583).

• Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam).

• Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yang terang–benderang hingga pandangannya menembus dan melihat istana- istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583) .

• Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583).

Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi-nabi sebelumnya.

Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw.

Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab: “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162) dari hadits ini sebagian saudara-saudara kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dengan puasa.

Rasul saw jelas–jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya: “Oh puasa hari senin itu mulia dan boleh–boleh saja..”, namun beliau bersabda: “Itu adalah hari kelahiranku” menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari-hari lainnya.

Contoh mudah misalnya Zeyd bertanya pada Amir: “Bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?” maka amir menjawab: “Oh itu hari kelahiran saya”.

Nah.. bukankah jelas–jelas bahwa Zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang berbeda dari hari–hari lainnya bagi Amir? dan Amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 Januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau Amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut–nyebut bahwa 1 Januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tidak memerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.

Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak? Rasul saw menjawab hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu.

Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.

Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw.

Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra: “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “Silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga” maka Abbas ra memuji dengan syair yg panjang, diantaranya:

“… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417).

Kasih sayang Allah atas kafir yg gembira atas kelahiran Nabi saw

Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya: “Bagaimana keadaanmu?” Abu Lahab menjawab:

“Di neraka, cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits No.13701, Syi’bul Iman No.281, Fathul Baari Almasyhur juz 11 hal 431).

Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.

Walaupun mimpi tidak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka Imam-imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam dan mereka tidak mengingkarinya.

Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid.

Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata:
“Aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw) lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata: “Bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dengan doa: Wahai Allah bantulah ia dengan RuhulQudus? maka Abu Hurairah ra berkata: “Betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits No.2485).

Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yang dilarang adalah syair–syair yang membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair–syair yang memuji Allah dan Rasul-Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk Hassan bin Tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair–syairnya (Mustadrak ala Shahihain hadits No.6058, Sunan Attirmidzi hadits No.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat yang mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata: “Jangan kalian caci Hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw” (Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).

Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid

1. Pendapat Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah:

Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata “Hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw “Kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “Sungguh Allah telah memberikan anugerah pada orang-orang mu’min ketika dibangkitkannya Rasul dari mereka” (QS. Al Imran: 164)

2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin AsSuyuthi rahimahullah:

Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw berakikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis No.1832 dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber-aqiqah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw berunur 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa aqiqah beliau saw yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah untuk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dengan makanan-makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.

3. Pendapat Imam Al Hafidh AbuSyaamah rahimahullah (guru Imam Nawawi):

Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi saw.

4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya‘Urif bitta’rif MaulidisSyariif:

Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu? ia menjawab: “Di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari).

Maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw? maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab Anugerah-Nya.

5. Pendapat Imam Alhafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy rahimahullah dalam kitabnya Auridusshaadiy fii MaulidulHaadiy:

Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy, yaitu menukil hadits Abu Lahab.

6. Pendapat Imam Al Hafidh AsSakhawiy rahimahullah dalam kitab Sirah Al Halabiyah:

Berkata ”Tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.

7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah:Dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata: ”Ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”.

8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah :

Dengan karangan maulidnya yang terkenal ”Al Aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.

9.Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah :

Dalam kitabnya ”Al Mawahibulladunniyyah” juz 1 hal 148 cetakan al maktab Al Islami berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat-Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
10.Imam Al Hafidh Al Muhaddits AbulKhattab Umar bin Ali bin Muhammad rahimahullah yang terkenal dengan Ibn Dihyah AlKalbi :

Dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”.

11.Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah AlJuzri rahimahullah:

Dengan maulidnya ”Urfu at ta’rif bi maulid assyarif”.

12.Imam Al Hafidh Ibn Katsir rahimahullah:

Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama ”Maulid Ibn Katsir”.

13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy rahimahullah:

Dengan maulidnya ”Maurid al hana fi maulid assana”.

14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy rahimahullah:

Telah mengarang beberapa maulid ”Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar” 3 jilid, ”Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq”, ”Maurud asshadi fi maulid al hadi”.

15.Imam AsSyakhawiy rahimahullah:

Dengan maulidnya ”Al fajr al ulwi fi maulid an nabawi”.

16.Al Allamah Al faqih Ali Zainal Abidin AsSyamuhdi:

Dengan maulidnya ”Al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah”.

17.Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad AsSyaibaniy yang terkenal dengan nama Ibn Diba’:

Dengan maulidnya ”AdDibai’i”.

18. Imam Ibn Hajar Alhaitsami:

Dengan maulidnya ”Itmam anni’mah alal alam bi mauled syayidi waladu adam”.

19.Imam Ibrahim Baajuri:

Mengarang hasiah atas maulid Ibn hajar dengan nama ”Tuhfah al basyar ala maulid Ibn hajar”.

20.Al Allamah Ali Al Qari’:

Dengan maulidnya ”Maurud arrowi fi maulid nabawi”.

21.Al Allamah Al Muhaddits Ja’far bin Hasan AlBarzanji:

Dengan maulidnya yang terkenal ”Maulid Barzanji”.

22.Al Imam Al Muhaddist Muhammad bin Jakfar Al Kattani:

Dengan maulid ”Al yaman wal is’ad bi maulid khair al
ibad”.

23.Al Allamah Syeikh Yusuf bin Ismail AnNabhaniy:
Dengan maulid ”Al jawahir an nadmu al badi fi maulid
as syafii’”.

24.Imam Ibrahim AsSyaibaniy:
Dengan maulidnya ”Al maulid musthofa adnaani”.

25.Imam Abdulghaniy Annablisy:
Dengan maulidnya ”Al alam al ahmadi fi mauled muhammadi”.

26.Syihabuddin Al Halwani:
Dengan maulid ”Fath al latif fi syarah maulid assyarif”.

27.Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati:
Dengan maulid ”Al kaukab al azhar alal ’iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar”.

28.AsSyeikh Ali Attanthowiy:
Dengan maulid ”Nur as shofa’ fi maulid al musthofa”.

29. AsSyeikh Muhammad Al Maghribi:
Dengan maulid ”At tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah”.

Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas–jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid

Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan Syariah Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, diriwayatkan ketika Sa’ad bin Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum Anshar “Berdirilah untuk tuan kalian” (Shahih Bukhari hadits No.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’ab bin Malik ra.

Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yang adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk, dan Imam Nawawi yang berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka tidak apa-apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun ada pula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan (Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 12 hal 93).

Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak ada hubungan apa–apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yang tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir,

Semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yang Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.

Jauh berbeda bila kita yang berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi saw, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.

Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yang padanya dibacakan puji–pujian untuk Nabi saw, lalu diantara syair-syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam–imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yang luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan.

Dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa “Bid’ah hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah, (berlandaskan hadist Shahih Muslim No.1017 yang terncantum pada Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah”.

Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yg mengadakannya (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137).

Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan para muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yang diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji- pujian pada Allah dan Rasul saw yang sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yang mengingkarinya karena jelas–jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yang mustahab (yang dicintai).

Sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yang menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.

Contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yang wajib.

Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tidak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yang hukumnya sunnah.

Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dengan Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai Sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tabligh ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi.

Sebagaimana penulisan Alqur’an yang merupakan suatu hal yang tidak perlu dizaman Nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yang membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.

Hal semacam ini telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yang awam, namun hanya sebagian saudara–saudara kita muslimin yang masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin. (Walillahittaufiq).

Tabarruk

Pernyataan Abdullah Bin Baz bahwa perbuatan Tabarruk (mengambil keberkahan dari bekas atau tubuh shalihin) adalah syirik.


Termasuk yang dapat merusak tauhid, meminta berkat (tabarruk) kepada seseorang atau mengusap-usap tubuhnya dan mengharapkan berkah daripadanya. Atau mencari berkat di pohon-pohon, batu-batu dan lain-lain. Bahkan Ka’bah sendiri tidak boleh mengusap-usapnya dengan tujuan mencari berkah.

Umar bin Khattab ra ketika mencium Hajarul Aswad pernah berkata: “Sesungguhnya aku tahu, bahwa kamu adalah sebuah batu yang tidak dapat memberi Manfa’at dan Madharat. Kalau bukan karena aku pernah melihat Rasulullah saw menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu”.

Jawaban Habib Munzir Al Musawa:

“Tabarruk” atau mengambil keberkahan dari bekas atau tubuh shalihin.Banyak orang yang keliru memahami makna hakikat tabarruk dengan Nabi Muhammad saw, peninggalan-peninggalannya saw, ahlulbaitnya saw dan para pewarisnya yakni para ulama, para kyai dan para wali. Karena hakekat yang belum mereka pahami, mereka berani menilai kafir (sesat) atau musyrik terhadap mereka yang bertabarruk pada Nabi saw atau ulama.

Mengenai azimat (Ruqyyat) dengan huruf arab merupakan suatu hal yang diperbolehkan, selama itu tidak menduakan Allah swt. Sebagaimana dijelaskan bahwa azimat dengan tulisan ayat atau doa disebutkan pada kitab Faidhulqadir Juz 3 hal 192, dan Tafsir Imam Qurtubi Juz 10 hal.316/317, dan masih banyak lagi penjelasan para Muhadditsin mengenai diperbolehkannya hal tersebut, karena itu semata mata adalah bertabarruk (mengambil berkah) dari ayat ayat Alqur’an.

Mengenai benda-benda keramat, maka ini perlu penjelasan yang sejelas-jelasnya, bahwa benda–benda keramat itu tak bisa membawa manfaat atau mudharrat, namun mungkin saja digunakan Tabarrukan (mengambil berkah) dari pemiliknya dahulu, misalnya ia seorang yang shalih, maka sebagaimana diriwayatkan.

• Para sahabat seakan-akan hampir saling bunuh saat berdesakan berebutan air bekas wudhunya Rasulullah saw (Shahih Bukhari Hadits No. 186),

• Allah swt menjelaskan bahwa ketika Ya’qub as dalam keadaan buta, lalu dilemparkanlah ke wajahnya pakaian Yusuf as, maka ia pun melihat, sebagaimana Allah menceritakannya dalam firman-Nya swt
“(Berkata Yusuf as kepada kakak-kakaknya)

“Pergilah kalian dengan bajuku ini, lalu lemparkan ke wajah ayahku, maka ia akan sembuh dari butanya” (QS. Yusuf: 93), dan pula ayat “Maka ketika datang padanya kabar gembira itu, dan dilemparkan pada wajahnya (pakaian Yusuf as) maka ia (Ya’qub as) sembuh dari kebutaanya” (QS. Yusuf: 96). Ini merupakan dalil Alqur’an, bahwa benda atau pakaian orang-orang shalih dapat menjadi perantara kesembuhan dengan izin Allah tentunya, kita bertanya mengapa Allah sebutkan ayat sedemikian jelasnya? apa perlunya menyebutkan sorban yusuf dengan ucapannya: “Pergilah kalian dengan bajuku ini, lalu lemparkan ke wajah ayahku, maka ia akan sembuh dari butanya”.

untuk apa disebutkan masalah baju yang dilemparkan ke wajah ayahnya? agar kita memahami bahwa Allah swt memuliakan benda–benda yang pernah bersentuhan dengan tubuh hamba–hamba-Nya yang shalih. kita akan lihat dalil–dalil lainnya.

• Setelah Rasul saw wafat maka Asma binti Abubakar shiddiq ra menjadikan baju beliau saw sebagai pengobatan, bila ada yang sakit maka ia mencelupkan baju Rasul saw itu di air lalu air itu diminumkan pada yang sakit (shahih Muslim hadits no.2069).

• Rasul saw sendiri menjadikan air liur orang mukmin sebagai berkah untuk pengobatan, sebagaimana sabda beliau “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin Tuhan kami” (Shahih Bukhari hadits No.5413) ucapan beliau saw: “Demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa air liur orang mukmin dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya, hadits ini menjelaskan bahwa Rasul saw bertabarruk dengan air liur mukminin bahkan tanah bumi, menunjukkan bahwa pada hakikatnya seluruh alam ini membawa keberkahan dari Allah swt.

• Seorang sahabat meminta Rasul saw shalat dirumahnya agar kemudian ia akan menjadikan bekas tempat shalat beliau saw itu mushollah dirumahnya,

Maka Rasul saw datang ke rumah orang itu dan bertanya “Dimana tempat yang kau inginkan aku shalat?” Demikian para sahabat bertabarruk dengan bekas tempat shalatnya Rasul saw hingga dijadikan musholla (Shahih Bukhari hadits No.1130).

• Nabi Musa as ketika akan wafat ia meminta di dekatkan ke wilayah suci di Palestina, menunjukkan bahwa nabi Musa as ingin dimakamkan dengan mengambil berkah pada tempat suci (Shahih Bukhari hadits No.1274).

• Allah memuji Nabi saw dan Umar bin Khattab ra yang menjadikan Maqam Ibrahim as (bukan makamnya, tetapi tempat ibrahim as berdiri dan berdoa di depan ka’bah yang dinamakan Maqam Ibrahim as) sebagai tempat shalat (musholla), sebagaimana firman-Nya:

“Dan mereka menjadikan tempat berdoanya Ibrahim sebagai tempat shalat” (QS. Al Imran: 97) maka jelaslah bahwa Allah swt memuliakan tempat hamba–hambaNya berdoa, bahkan Rasul saw pun bertabarruk dengan tempat berdoanya Ibrahim as, dan Allah memuji perbuatan itu. • Diriwayatkan ketika Rasul saw baru saja mendapat hadiah selendang pakaian bagus dari seorang wanita tua, lalu datang pula orang lain yang segera memintanya selagi pakaian itu dipakai oleh Rasul saw, maka riuhlah para sahabat lainnya menegur si peminta, maka sahabat itu berkata “Aku memintanya karena mengharapkan keberkahannya ketika dipakai oleh Nabi saw dan kuinginkan untuk kafanku nanti”
 (Shahih Bukhari hadits No.5689), demikian cintanya para sahabat pada Nabinya saw, sampai kain kafanpun mereka ingin yang bekas sentuhan tubuh Nabi Muhammad saw.

• Sayyidina Umar bin Khattab ra ketika ia telah dihadapan sakratulmaut, Yaitu sebuah serangan pedang yang merobek perutnya dengan luka yang sangat lebar, beliau tersungkur roboh dan mulai tersengal–sengal beliau berkata kepada putranya (Abdullah bin Umar ra), "Pergilah pada Ummulmukminin, katakan padanya aku berkirim salam hormat padanya, dan kalau diperbolehkan aku ingin dimakamkan disebelah Makam Rasul saw dan Abubakar ra" maka ketika Ummulmukminin telah mengizinkannya maka berkatalah Umar ra "Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu” (dimakamkan disamping makam Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits No.1328).

Dihadapan Umar bin Khattab ra Kuburan Nabi saw mempunyai arti yang sangat Agung, hingga kuburannya pun ingin disebelah kuburan Nabi saw, bahkan ia berkata "Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu”.

• Demikian pula Abubakar shiddiq ra, yang saat Rasul saw wafat maka ia membuka kain penutup wajah Nabi saw lalu memeluknya dengan derai tangis seraya menciumi tubuh beliau saw dan berkata “Demi ayahku, dan engkau dan ibuku wahai Rasulullah.., Tiada akan Allah jadikan dua kematian atasmu, maka kematian yang telah dituliskan Allah untukmu kini telah kau lewati” (Shahih Bukhari hadits No.1184, 4187).

• Salim bin Abdullah ra melakukan shalat sunnah di pinggir sebuah jalan, maka ketika ditanya ia berkata bahwa “Ayahku shalat sunnah ditempat ini, dan berkata ayahku bahwa Rasulullah saw shalat di tempat ini, dan dikatakan bahwa Ibn Umar ra pun melakukannya” (Shahih Bukhari hadits No.469). Demikianlah keadaan para sahabat Rasul saw, bagi mereka tempat–tempat yang pernah disentuh oleh tubuh Muhammad saw tetap mulia walau telah diinjak ribuan kaki, mereka mencari keberkahan dengan shalat pula ditempat itu, demikian pengagungan mereka terhadap sang Nabi saw.

• Dalam riwayat lainnnya dikatakan kepada Abu Muslim, wahai Abu Muslim, kulihat engkau selalu memaksakan shalat ditempat itu? maka Abu Muslim ra berkata

”Kulihat Rasul saw shalat ditempat ini” (Shahih Bukhari hadits No.480).

• Sebagaimana riwayat Sa’ib ra "Aku diajak oleh bibiku kepada Rasul saw, seraya berkata “Wahai Rasulullah.., keponakanku sakit.., maka Rasul saw mengusap kepalaku dan mendoakan keberkahan padaku, lalu beliau berwudhu, lalu aku meminum air dari bekas wudhu beliau saw, lalu aku berdiri dibelakang beliau dan kulihat Tanda Kenabian beliau saw" (Shahih Muslim hadits No.2345).

• Riwayat lain ketika dikatakan pada Ubaidah ra bahwa kami memiliki rambut Rasul saw, maka ia berkata:
“Kalau aku memiliki sehelai rambut beliau saw, maka itu lebih berharga bagiku dari dunia dan segala isinya” (Shahih Bukhari hadits No.168). Demikianlah mulianya sehelai rambut Nabi saw dimata sahabat, lebih agung dari dunia dan segala isinya.

• Diriwayatkan oleh Abi Jahiifah dari ayahnya, bahwa para sahabat berebutan air bekas wudhu Rasul saw dan mengusap–usapkannya ke wajah dan kedua tangan mereka, dan mereka yang tak mendapatkannya maka mereka mengusap dari basahan tubuh sahabat lainnya yang sudah terkena bekas air wudhu Rasul saw lalu mengusapkan ke wajah dan tangan mereka” (Shahih Bukhari hadits No.369, demikian juga pada Shahih Bukhari hadits No.5521, dan pada Shahih Muslim hadits No.503 dengan riwayat yang banyak).

• Diriwayatkan ketika Anas bin malik ra dalam detik-detik sakratulmaut ia yang memang telah menyimpan sebuah botol berisi keringat Rasul saw dan beberapa helai rambut Rasul saw, maka ketika ia hampir wafat ia berwasiat agar botol itu disertakan bersamanya dalam kafan dan hanutnya (Shahih Bukhari hadits No.5925).
Tampaknya kalau mereka ini hidup di zaman sekarang, tentulah para sahabat ini sudah dikatakan musyrik, tentu Abubakar sudah dikatakan musyrik karena menangisi dan memeluk tubuh Rasul saw dan berbicara pada jenazah beliau saw.

Tentunya Umar bin Khattab sudah dikatakan musyrik karena di sakratulmaut bukan ingat Allah malah ingat kuburan Nabi saw

Tentunya para sahabat sudah dikatakan musyrik dan halal darahnya, karena mengkultuskan Nabi Muhammad saw dan menganggapnya tuhan sembahan hingga berebutan air bekas wudhunya, mirip dengan kaum nasrani yang berebutan air pastor!

Nah.. kita boleh menimbang diri kita, apakah kita sejalan dengan sahabat atau kita sejalan dengan generasi sempalan.

Wahai saudaraku, jangan alergi dengan kalimat syirik, syirik itu adalah bagi orang yang berkeyakinan ada Tuhan Lain selain Allah, atau ada yang lebih kuat dari Allah, atau meyakini ada Tuhan yang sama dengan Allah swt. Inilah makna syirik.

Sebagaimana sabda Nabi saw “Kebekahan adalah pada orang–orang tua dan ulama kalian” (Shahih Ibn Hibban hadits no.559).

Dikatakan oleh seorang ulama Al hafidh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy menanggapi hadits yang diriwayatkan dalam shahih muslim bahwa “Rasul saw membaca mu’awwidzatain lalu meniupkannya ke kedua telapak tangannya, lalu mengusapkannya ke sekujur tubuh yang dapat disentuhnya, hal itu adalah tabarruk dengan nafas dan air liur yang telah dilewati bacaan Alqur’an, sebagaimana tulisan dzikir–dzikir yang ditulis dibejana (untuk obat)” (Al Jami’usshaghiir Imam Assuyuthiy Juz 1 hal 84 hadits No.104).

Telah dibuktikan pula secara ilmiah oleh salah seorang Profesor Jepang (Dr. Masaru Emoto) bahwa air itu berubah wujud bentuknya dengan hanya diucapkan padanya kalimat–kalimat tertentu, bila ucapan itu berupa cinta, terimakasih dan ucapan–ucapan indah lainnya maka air itu berubah wujudnya menjadi semakin indah, bila diperdengarkan ucapan cacian dan buruk maka air itu berubah menjadi buruk wujud bentuknya, dan bila dituliskan padanya tulisan mulia dan indah seperti terimakasih, syair cinta dan tulisan indah lainnya maka ia menjadi semakin indah wujudnya, bila dituliskan padanya ucapan caci-maki dan ucapan buruk lainnya maka ia berubah buruk wujudnya, kesimpulannya bahwa air itu berubah dengan perubahan emosi orang yang didekatnya, apakah berupa tulisan dan perkataan.

Keajaiban alamiah yang baru diketahui masa kini, sedangkan Rasul saw dan para sahabat telah memahaminya, mereka bertabarruk dengan air yang menyentuh tubuh Rasul saw, mereka bertabarruk dengan air doa yang didoakan oleh Rasul saw, maka hanya mereka mereka kaum muslimin yang rendah pemahamannya dalam syariah inilah yang masih terus menentangnya padahal telah dibuktikan secara ilmiah, menunjukkan pemahaman mereka itulah yang jumud dan terbelakang.

Memohon Pertolongan Kepada Orang Yang Telah Mati

Pernyataan Abdullah Bin Baz bahwa berdoa dan memohon pertolongan kepada orang yang telah mati adalah syirik.

Begitu juga, melarang mereka berdoa dan memohon pertolongan kepada orang–orang yang telah mati. Karena doa adalah ibadah yang hanya boleh dihadapkan kepada Allah semata, Allah berfirman :
“Maka janganlah kamu (di dalamnya) menyembah seseorangpun di samping menyembah Allah” (QS. Al Jin: 18)

“Janganlah kamu menyembah apa–apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang–orang yang dhalim” (Qs. Yunus: 106) artinya termasuk orang–orang yang musyrik
.
Rasulullah Saw bersabda “Doa itu adalah ibadah”.“Apabila kamu memohon maka mohonlah kepada Allah, apabila kamu minta pertolongan maka minta pertolonganlah kepada Allah”.

Seseorang yang meninggal telah terputus amalannya dari manusia lain, maka dia sangat butuh sekali untuk didoakan dan dimohonkan keampunan dan Rahmat baginya bukan justru berdoa kepadanya selain Allah karena Nabi Saw bersabda :

“Apabila manusia itu mati maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah (yang mengalir), ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya”.

“Maka janganlah kamu (di dalamnya) menyembah seseorangpun di samping menyembah Allah” (QS. Al Jin: 18)

Bagaimana bisa berdoa kepadanya selain Allah? Begitu pula berhala, kayu, batu, bulan, matahari dan bintang–bintang tidak boleh sama sekali berdoa dan mohon pertolongan kepada semua itu. Demikian pula kepada penghuni kubur, sekalipun mereka adalah para Nabi atau orang–orang yang shaleh.

Begitu pula para malaikat dan jin, tidak boleh berdoa kepada mereka di samping berdoa kepada Allah.
Allah berfirman:

“Janganlah kamu menyembah apa–apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang–orang yang dhalim” (QS. Yunus: 106).

Disini, Allah menghukum kafir bagi siapa saja yang menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai Tuhan–Tuhan tenpat berdoa dan mohon pertolongan. Padahal Allah sama sekali tidak memerintahkan mereka berbuat demikian. Dalam Shahih Muslim dan Jabir ra,beliau berkata “Rasulullah Saw melarang mangapur (mengecat) kuburan, duduk dan membangun diatasnya”.

Hal ini dilarang, dikarenakan ia membawa kepada syirik. Membangun di atas kuburan, mengapur (mengecat), memberi pakaian (kelambu) dan mendirikan kubah diatasnya, semua ini merupakan sarana yang membawa kepada pengagungan, pengkultusan serta berdoa kepada penghuninya.

Adapun duduk di atas kuburan tidak dibolehkan karena kuburan itu terhormat, tidak boleh dihinakan. Oleh karena itu, tidak boleh duduk, buang air kecil dan besar di atasnya, begitu juga bersandar kepadanya dan menginjaknya. Semua ini dilarang, demi menghormati mayat seorang muslim.

Seorang muslim itu terhormat di masa hidupnya dan juga setelah matinya. Oleh karena itu tidak boleh diinjak kuburannya, tidak boleh dirusak tulang belulangnya. Begitu pula tidak boleh duduk, buang air kecil dan membuang sampah di atasnya, semua ini adalah terlarang.

Mayat seorang muslim tidak boleh dihinakan dan tidak boleh pula dikultuskan, seperti berdoa kepadanya selain Allah. Kuburannya tidak boleh dilecehkan, diinjak, dijadikan tempat buang sampah dan berbagai macam kotoran lainnya. Agama Islam sangat adil, diperintahkannya kita menghormati kuburan, mendoakan dan memohon keampunan bagi para penguninya. Disamping itu, kita dilarang menyakiti mereka seperti membuang berbagai kotoran, sampah dan duduk di atas kuburan mereka.

Mengenai masalah ini, dalam sebuah hadits Shahih Rasulullah Saw bersabda “Janganlah kamu sekalian duduk di atas kuburan dan janganlah shalat dengan menghadapnya”.

Jadi, tidak boleh menjadikannya sebagai kiblat shalat dan tidak boleh duduk di atasnya.

Dengan demikian, syari’at Islam memadukan antara dua perkara.

Pertama, larangan pengkultusan terhadap penghuni kubur, duduk di atas kuburnya. Menginjak atau bersandar kepadanya serta membuang kotoran diatasnya. Semua ini dilarang.

Dengan demikian, seorang mukmin tahu bahwa syari’at Islam adalah syari’at yang adil, tidak membolehkan berbuat syirik dan juga tidak boleh menyakiti dan mengina.

Rasulullah Saw dan orang shaleh boleh didoakan, dimohonkan ampun baginya dan diucapkan salam kepadanya, ketika berziarah ke kuburan mereka. Adapun berdoa kepada selain Allah, tidak boleh. Kita tidak boleh mengatakan kepada penghuni kubur “Wahai tuanku, bantulah saya, bantulah saya!”, atau “Tolonglah saya!” atau “Bantulah saya menyelesaikan ini!”. Semua ini hanya kita minta kepada Allah. Dan juga tidak boleh menghina penghuni kubur dengan membuang kotoran di atasnya atau menginjaknya. Semua itu tidak boleh.

Adapun meminta bantuan kepada orang yang masih hidup, diperbolehkan. Karena secara kongkrit dia mampu melakukan hal–hal yang diperbolehkan secara syara’. Sebagaimana Allah firmankan sehubungan dengan kisah Musa.

“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya” (QS. Al Qashash: 15).

Musa ketika itu hidup dan kepadanya seorang Bani Israil meminta bantuan agar ia mengalahkan musuhnya yaitu seorang dari suku Qibhti. Demikian pula hubungan manusia dengan saudara dan kerabatnya, mereka tolong–menolong ketika berada di sawah, ketika memperbaiki rumah, memperbaiki mobil dan kebutuhan–kebutuhan lainnya.

Mereka diperbolehkan tolong–menolong dalam masalah kongkrit yang mampu mereka lakukan. Begitu juga lewat telefon, surat menyurat, telegram, dan teleks, semua ini termasuk kerjasama dalam masalah kongkrit yang mampu dikerjakan.

Tetapi minta pertolongan yang sifatnya ibadah, tidak diperbolehkan. Kita tidak boleh mengatakan kepada orang yang masih hidup maupun sudah mati “Sembuhkan penyakitku” atau “Kembalikan barangku yang hilang” dengan keyakinan bahwa ia mengetahui rahasia ghaib dalam masalah itu. Dan tidak boleh mengatakan “Tolonglah kami mengalahkan musuh kami”, maksudnya dengan kekuatan ghaibnya.

Adapun meminta bantuan kepada orang yang masih hidup dalam masalah kongkrit yang mampu ia laksanakan seperti minta bantuan senjata atau hutang piutang, hal itu diperbolehkan.

Begitu pula, tidak masalah minta kepada seorang dokter agar ia mengobati penyakit. Adapun dengan mengatakan “Sembuhkan saya”, dengan keyakinan bahwa ia memiliki ilmu ghaib dalam masalah ini, hal itu tidak diperbolehkan, sebagaimana lazimnya dilakukan orang–orang sufi dan lainnya. Hal ini termasuk kufur. Karena manusia tidak mampu mengatur alam ini. Ia hanya mampu melakukan hal–hal yang kongkrit dan dokter berbuat sesuatu yang sifatnya kongkrit yaitu melalui oba-obatan.

Demikian juga seseorang yang masih hidup dapat melakukan usaha–usaha kongkrit, membantumu dengan tangannya, menolongmu, meminjamkan sejumlah harta kepadamu atau bantuan untuk membangun atau memberimu suku cadang mobil, atau membantu dengan rekomendasi kepada orang yang akan menolongmu. Semua ini adalah masalah-masalah konkrit yang diperbolehkan dan tidak termasuk kategori beribadah atau meminta bantuan kepada mayit dan sejenisnya.

Kebanyakan para pelaku syirik, samar bagi mereka masalah–masalah ini. Padahal permasalahannya jelas sekali, tidak samar kecuali bagi orang yang benar–benar jahil.

Tolong menolong dengan orang yang masih hidup diperbolehkan dengan syarat–syarat yang telah dikemukakan tadi. Sedangkan berdoa meminta bantuan kepada orang mati dan bernadzar untuknya, tidak diperbolehkan. Masalah ini tidak asing lagi di kalangan ulama, dan mereka sepakat bahwa perbuatan ini termasuk syirik akbar. Tidak ada pertentangan antara ulama di masa sahabat, tabi’in dan generasi seterusnya. Demikian juga membangun masjid di atas kuburan bukan suatu hal yang asing lagi di kalangan ulama, karena Islam secara tegas melarangnya. Maka hal ini tidak boleh samar bagi seorang ulama.

Maka sekali lagi, hendaklah para ulama senantiasa agar bertakwa kepada Allah di mana saja mereka berada dan hendaklah mereka menasehati sesama manusia dan mengajarkan syari’at Allah kepada mereka tanpa basa basi dan tanpa memilah–milah, baik penguasa, orang kecil ataupun pejabat. Semua mereka diingatkan dengan perkara–perkara yang diharamkan Allah dan mereka dibimbing kepada syari’at Allah. Inilah kewajban para ulama di mana saja mereka berada baik melalui lisan, tulisan, buku, ceramah umum dan lain–lain. Termasuk juga lewat telefon, teleks dan sarana–sarana lain yang ada dewasa ini yang dapat digunakan untuk penyebaran dakwah dan menasehati umat. Kami mohon hidayah kepada Allah bagi semua, tiada daya dan upaya melainkan dengan izin Allah.

Jawaban Habib Munzir Al Musawa:

Jelas bahwa larangan Allah swt adalah menyembah pada selain Allah swt, bukan melarang tawassul atau minta bantuan pada manusia, berbeda dengan yang dijelaskan Bin Baz dalam hal ini, ia membelokkan makna sangat jauh dari tujuan ayat, alangkah bodohnya jika pendapat semacam ini disebut fatwa?

Perbuatan sunnah Rasul saw dibelokkan menjadi perbuatan musyrik. Bukankah anak-anak Nabi Ya’qub as (kakak-kakak Nabi Yusuf as) meminta pada ayahnya agar ayahnya beristighfar untuk mereka?, “Wahai ayah kami tolong mintakan pengampunan pada Allah untuk kami, sungguh kami telah berbuat salah, maka ia (Ya’qub as) berkata: “Aku akan mohonkan pengampunan pada Allah untuk kalian, sungguh Tuhanku Maha Pengampun dan Berkasih sayang” (QS. Yusuf: 97-98)

Apakah Nabi Yaqub as ini membenarkan kemusyrikan anak-anaknya..?.

Kenapa mereka minta diistighfari oleh ayahnya..?, kenapa berperantara pada ayahnya..?, kenapa tidak langsung saja pada Allah..?, kenapa Allah menyebut ayat ini dalam Alqur’an..?

Bukankah perbuatan ini ditiru oleh para sahabat radhiyallahu‘anhum lalu Allah swt memuji mereka ? “Ketika mereka telah berbuat dhalim atas diri mereka sendiri lalu mereka datang padamu (wahai Muhammad), lalu mereka beristighfar pada Allah didepanmu, lalu Rasul (saw) beristighfar untuk mereka, maka mereka akan dapati Allah Maha Menerima taubat mereka dan berkasih sayang” (QS. Annisa: 64).

Al Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menukil syarah ayat ini diriwayatkan oleh Al Utbiy bahwa ia sedang duduk dimakam Rasul saw, lalu datang seseorang dan berkata: “Salam sejahtera wahai Rasulullah, aku dengan firman Allah swt yang berbunyi: “Ketika mereka telah berbuat dhalim atas diri mereka sendiri lalu mereka datang padamu (wahai Muhammad), lalu mereka beristighfar pada Allah didepanmu, lalu Rasul (saw) beristighfar untuk mereka, Maka mereka akan dapati Allah Maha Menerima taubat mereka dan berkasih sayang”, dan kini aku datang padamu wahai Nabi, beristighfar dihadapanmu atas dosa dosaku, dan minta syafaat padamu kepada Tuhanku”.

Lalu pria itu pergi dan aku (Al Utbiy) tertidur, dan aku bermimpi Rasul saw dan berkata: “Wahai Utbiy, kejar orang itu, katakan padanya bahwa Allah swt sudah mengampuninya” (Tafsir Imam Ibn Katsir QS. Annisa: 64).

Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Al Imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’.

Tentunya mimpi tak bisa dipakai dalil, namun tentuya yang kita bahas adalah perbuatan meminta pada kubur Nabi saw yang terjadi sebelum mimpi tsb, jika perbuatan itu syirik maka Imam Al Utbiy akan menegurnya, dan Imam Ibn Katsir akan menjelaskan bahwa minta dikuburan itu syirik, dan demikian pula Imam Nawawi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Ibn Katsir adalah murid Ibn Taimiyah, dan fatwa Imam Ibn Katsir sangat dipakai oleh para kalangan anti maulid, namun lihat sendiri bahwa Imam Ibn Katsir ini membolehkan minta pada ahli kubur, demikian pula Hujjatul Islam Al Imam Nawawi, dan sama sekali tak menyebutkan bahwa perbuatan itu syirik.

Mengenai kuburan berkata Imam Ibn Hajar: “Berkata Imam Al Baidhawiy: “Ketika orang yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung-patungnya, maka Rasul saw melaknat mereka dan melarang muslimin berbuat itu,

Tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabarruk dengan kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dengan merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yang dimaksud hadits itu”(Fathul Bari Al Masyhur Juz 1 hal 525).

Berkata Imam Al Baidhawiy: “Bahwa Kubur Nabi Ismail as adalah di Hathiim (disamping Miizab di ka’bah dan di dalam MasjidilHaram) dan tempat itu justru afdhal shalat padanya, dan larangan shalat di kuburan adalah kuburan yang sudah tergali (Faidhulqadiir Juz 5 hal 251).

Jelaslah bahwa yang dimaksud shalat menghadap kuburan adalah yang langsung berhadapan dengan kuburan yang telah digali, bukan kuburan yang tertutup tembok atau terhalang dinding.

Dan Rasul saw menyalatkan seorang yang telah dikuburkan, beliau shalat gaib menghadap kuburannya tanpa dinding atau penghalang, yaitu langsung menghadap kuburan (Shahih Muslim).

Mengenai membangun kubur dengan tabut, bangunan, hal ini dilarang untuk umum, dan diperbolehkan untuk kubur para Nabi, ulama dan shalihin, untuk menghidupkan ziarah dan tabarruk pada mereka. (Rujuk: I’anatutthaalibin Juz 3 hal 236, Tuhfatul Muhtaj bisyarhil Minhaj Juz 11 hal 424, Mughniy Almuhtaj bisyarhil Minhaj Juz 4 hal 365, Nihayatul Muhtaj ilaa syarhil Minhaj Juz 8 hal 395 dll.).

DOWNLOAD MP3 KAJIAN HIKAM DARI MULAI HIKMAH KE-1 DAN SETERUSNYA

 Selamat Datang di Blog Saya, saya do'akan sobat semua sehat selalu, bagi sobat yang membutuhkan kajian hikam perhikmah dari mulai hikam...