Saturday, December 30, 2017

HADITS MUTAWATIR

HADITS MUTAWATIR
Mutawwatir dari segi bahasa membawa maksud berturut2, tidak terputus.
Iaitu Hadits "Perbuatan atau perkataan atau pengakuan (taqrir) Nabi saw yang diketahui oleh beberapa orang yang sampai kepada bilangan mutawatir, iaitu bilangan yang tidak mungkin pada fikiran kita bahawa mereka akan bermuafakat berbuat dusta tentang perkhabaran (Hadits) itu. Dan dari mereka yang tersebut sampai pula perkhabaran itu kepada orang lain yang dipercayai. Demikianlah pertalian penerimaan turun temurun itu sampai ke akhirnya." Mereka, kelompok perawi ini diketahui menurut kebiasaannya, tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kedustaan, mereka jujur dan terpercaya. Jumlah perawi di sini, terdapat perbezaan di kalangan fuqaha Hadits, ada yg kata 12, ada yg kata 30 dsb.
Contoh Hadits mutawatir itu ialah:
"Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya di dalam neraka." [Riwayat Jama'ah dari Abu Hurairah - Hadits ini menurut kata Imam Nawawi diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
Pembagian lainnya, mutawwatir lafzi dan mutawwatir maknawi. Hadits mutawwatir lafzi bermaksud Hadits yg diriwayatkan oleh sekumpulan perawi yg meriwayatkan lafaz yg sama. Manakala mutawwatir maknawi bermaksud Hadits yg diriwayatkan secara mutawwatir yg merujuk kpd maksud yg sama tetapi berbeza dari segi lafaznya.
Lawan Hadits mutawwatir ialah Hadits ahad. Hadits ahad ialah Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau kelompok yang keadaannya tidak sampai pada tingkatan tawatir.


Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

PEMBAGIAN HADITS

Pebagian hadits
1. Pembahagian hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita :
a. Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir dibahagi menjadi mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi
b. Hadits Ahad
Hadits ahad dibahagi menjadi :
- Hadits Masyhur
- Hadits ‘Aziz
- Hadits Gharib : gharib mutlaq dan gharib nisbi
======================
2. Pembahagian hadits dilihat dari kuat dan lemahnya (masuk dalam pembahasan hadits ahad):
a. Hadits Maqbul; terdiri dari :
- Hadits shahih : shahih lidzaatihi dan shahih lighairihi
- Hadits hasan : hasan lighairihi
Pembahagian khabar maqbul dilihat dari yang dapat diamalkan dan tidak dapat diamalkan :
- Al-Muhkam
- Al-Mukhtalif
b. Hadits Mardud; terdiri dari :
- Hadits dha’if dan saudara-saudaranya.
Pembahagian hadits dha’if :
- Dha’if akibat cacat pada sanadnya (gugur sanadnya) :
@ Keguguran secara dzahir : Mu’allaq, Mursal, dan Munqathi’
@ Keguguran secara tersembunyi : Mudallas dan Mursal
- Dha’if akibat cacat pada rawi hadits :
@ Maudhu’
@ Matruk
@ Munkar
@ Ma’ruf
@ Mu’allal
@ Mukhalafah lits-Tsiqaat : Mudraj, Maqlub, Al-Maziid fii Muttashilil-Asaanid, Mudltharib, dan Mushahhaf.
@ Syaz (dan sekaligus dibahas : Mahfudh)
@ Hadits dha’if akibat Jahalatur-Rawi (Majhul)
@ Hadits dha’if akibat Bid’atur-Rawi
==============================
3. Pembahagian Hadits Menurut Sandarannya :
a. Hadits Qudsi
b. Marfu’
c. Mauquf
d. Maqthu’
==================
Ada beberapa penjelasan lain mengenai Muttabi’ dan Asy-Syahi, serta jalan mencapai keduanya (I’tibar)



Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

LONGSOR GEMPA BANJIR TSUNAMI (LGBT)



Dari Abu Hurairah ra berkata; bersabda Rasulullah saw

“Apabila kekuasaan dianggap keuntungan, amanat dianggap ghanimah (rampasan), membayar zakat dianggap merugikan, beiajar bukan karena agama (untuk meraih tujuan duniawi semata), suami tunduk pada istrinya, durhaka terhadap ibu, menaati kawan yang menyimpang dari kebenaran, membenci ayah, bersuara keras (menjerit jerit) di masjid, orang fasig menjadi pemimpin suatu bangsa, pemimpin diangkat dari golongan yang rendah akhiaknya, orang dihormati karena takut pada kejahatannya, para biduan dan musik (hiburan berbau maksiat) banyak digemari, minum keras/narkoba semakin meluas, umat akhir zaman ini sewenang-wenang mengutuk generasi pertama kaum Muslimin (termasuk para sahabat Nabi saw, tabi’in dan para imam muktabar). Maka hendaklah mereka waspada karena pada saat itu akan terjadi hawa panas, gempa,longsor dan kemusnahan. Kemudian diikuti oleh tanda-tanda (kiamat) yang lain seperti untaian permata yang berjatuhan karena terputus talinya (semua tanda kiamat terjadi).”(HR. Tirmidzi)



KETIKA terjadi bencana alam, paling tidak ada tiga analisa yang sering diajukan untuk mencari penyebab terjadinya bencana tersebut. Pertama, azab dari Allah karena banyak dosa yang dilakukan. Kedua, sebagai ujian dari Tuhan. Ketiga, Sunnatullahdalamartigejalaalamatauhukum alam yang biasaterjadi. Untuk kasus Indonesia ketiga analisa tersebut semuanya mempunyai kemungkinan yang sama besarnya.



Jika bencana dikaitkan dengan dosa-dosa bangsa ini bisa saja benar, sebab kemaksiatan sudah menjadi kebanggaan baik di tingkat pemimpin (struktural maupun kultural) maupun sebagian rakyatnya, perintah atau ajaran agama banyak yang tidak diindahkan, orang-orang miskin diterlantarkan. Maka ingatlah firman Allah:



 “Jika Kami menghendaki menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah (berkedudukan untuk taat kepada Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan daiam negeri tersebut, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya,” (Al-Isra'[17]: 16).



Apabila dikaitkan dengan ujian, bisa jadi sebagai ujian kepada bangsa ini, khususnya kaum Muslimin agar semakin kuat dan teguh keimanannya dan berani untuk menampakkan identitasnya. Sebagaimana firman Allah:



“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan: Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diujilagi?”( Al-Ankabut [29:2).



Akan tetapi, jika dikaitkan dengan gejala alam pun besar kemungkinannya, karena  bumi Nusantara memang berada di bagian  bumi yang rawan bencana seperti gempa, tsunami dan letusan gunung. Bahkan, secara keseluruhan bumi yang ditempati manusia ini rawan akan terjadinya bencana, sebab hukum alam yang telah ditetapkan Allah SwT atas bumi ini dengan ber bagai hikmah yang terkandung di dalamnya. Seperti pergerakan gunung dengan  berbagai konsekuensinya.



“Dan kamu lihat gunung-gunung itu kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal gunung-gunung itu bergerak sebagaimana awanbergerak.(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh segala sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.( QS. Al-Naml [27]: 88).



Di samping harus tetap bersikap optimis dan berupaya mengenali hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan atas alam ini, adalah bijak untuk terus melakukan introspeksi terhadap keseriusan kita dalam menaati perintah-perintah Allah SwT dan menghitung-hitung kedurhakaan kita kepada-Nya.Sabda Rasulullah saw yang diriwayat kan Imam Tirmidzi di atas patut menjadi renungan bagi bangsa ini atas berbagai bencana yang menimpa secara bertubi tubi.



Jika kita cermati hampir semua penyebab bencana yang disebut Rasulullah saw dalam Hadits tersebut tengah melanda bangsa ini. Pertama, masalah kepemimpinan, amanah dan penguasa. Jika suatu bangsa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat, baik (shalih), cakap/cerdas dan kompeten (gawiy) dan amanah (amin), maka kebangkrutan dan kehancuran sebuah  bangsa tinggal menunggu waktu saja. Se bab, pemimpin seperti itu menganggap kekuasaan bukan sebagai amanah untuk menciptakan kesejahteraan dan ketentraman bagirakyatnya, tetapi sebagal sarana dan kesempatan untuk memperkaya diri dan  bersenang-senang.



Akibatnya, perilaku korupsi merajalela, penindasan dan pemiskinan menjadi pemandangan yang lumrah, dan kebangkrutan moral menjadi hal yang sangat sulit untuk dihindari. Oleh karena itu, memilih pemimpin atau pejabat harus hatihati dan selektif, sebab mereka akan memanggul amanah yang sangat berat.



Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah saatnya (kehancuran). Abu Hurairah bertanya; “Bagaimana amanat itu disia-siakan wahai Rasulullah?, Beliau menjawab,”Jika suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya (tidak memenuhi syarat)”. ( H R. Bukhari).



Kedua, orang kaya tidak menunaikan kewajibannya. Zakat adalah kewajiban minimal bagi orang kaya untuk peduli kepada orang miskin. Jika kewajiban minimal ini tidak ditunaikan, maka kegoncangan social tdak bisa ditawar-tawarlagi, karena tindakan orang miskin yang terampas haknya tidak bisa dipersalahkan. Sehingga azab Allah menjadi keharusan (Al-Isra': 16). Demikian intisari istinbathAmirul Mu’minin Umar bin Khathab ra yang didukung Ibnu Hazm rahimallahu ta’ala.



Ketiga, hilangnya ketulusan dan kebijakan para ulama dan cendekiawan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh penguasa dan pengusaha (orang kaya) itu akan menjadi-jadi jika ulama/cendekiawan sebagai pilar penting suatu bangsa yang bertugas untuk memberi peringatan dan beroposisi secara loyal terseret ke dalam kepentingan pragmatis para penguasa dan pengusaha tersebut.



Aktualisasinya bisa berwujud pada terbitnya fatwa-fatwa pesanan yang tidak memihak orang-orang lemah dan tertindas serta opini yang menyesatkan dan membingungkan umat sebagai akibat terialu banyak menerima pemberian yang tidak jelas dan sering mengemis pada musuh-musuh Islam dan bangsa pada umumnya. Karena ketulusan telah hilang, para ulama pun menjadi orang yang membuat gaduh di masjid dengan perdebatan dan berbantahan mengenai hal yang sudah diputuskan dengan jelas oleh Allah dan Rasul-Nya.



Pada akhirnya, bukan hanya perintah Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperhatikan dan disia-siakan. Akan tetapi para sahabat Rasul dan generasi mereka sesudahnya (ulama dari kalangan tabi’in dantabi’tabi’in)sebagaigenerasiterbaik umat Muhammad saw menjadi bahan olok-olok dan ejekan dalam perbincangan mereka dengan merendahkan dan mencampakkan kezuhudan dan hasil ijtihad mereka yang cemerlang.



Jika ketiga pilar bangsa penguasa, pengusaha dan ulama atau cendekiawan sudah tidak menjalankan fungsi yang semestinya, maka kebangkrutan moral yang lain seperti durhaka pada orangtua, suami yang manut pada hawa nafsu istrinya, mewabahnya khamr (narkoba) dan kesenangan pada hiburan yang memancing keliaran syahwat menjadi pemandangan yang biasa. Pada saatitu”kemarahan” Tuhan dipastikan tidak bias dihalang-halangi untuk menghancurkan bangsa yang durhaka.



Affiliate Program Get Money from your Website
Info:
Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI

Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI

ATAU DAFTAR DISINI

ATAU : DAFTAR PerfectMoney

CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

Thursday, December 28, 2017

AL JARH WAT-TA'DIL

Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang bererti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang (Lisaanul-Arab; kosa kata “Jaraha”).
Al-Jarh menurut istilah iaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merosakkan hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
At-Tajrih iaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendha’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang yang ‘adil ertinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil ertinya mensucikannya dan membersihkannya.
Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merosakkan agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (iaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).
At-Ta’dil iaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Dan atas dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka (Ushulul-Hadiits halaman 260; dan Muqaddimah Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil 3/1)

Perkembangan Ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil
Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :
1. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki :
”(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).
2. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya :
”Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).
Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangka nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :
3. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang di antara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
—————-
Oleh kerana itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini kerana takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
”Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapa-bapa kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata, ”Khabarkanlah tentang dirinya bahawa haditsnya tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal mahupun dari selain mereka” (- Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan tadlis dari para dlu’afaa).
Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’ yang berpengalaman yang dikurniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : ”(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata, ”Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya”.
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh kerananya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, iaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, ”Apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata, ”Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjadi musuhku. Beliau akan berkata : mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu tahu itu adalah kedustaan?” (Al-Kifaayah halaman 144).
Perbezaan Tingkat Para Perawi
Tingkatan perawi itu berbeza-beza :
Di antara mereka Ats-Tsabt (yang teguh), Al-Hafidh (yang hafalannya kuat), Al-Wari’ (yang shalih/hati-hati), Al-Mutqin (yang teliti), An-Naqid (yang kritis terhadap hadits). Yang mendapatkan predikat demikian ini tidak lagi diperselisihkan, dan dijadikan pegangan atas Jarh dan Ta’dil-nya, dan pendapatnya tentang para perawi dapat dijadikan sebagai hujjah.
Di antara mereka ada yang memiliki sifat Al-‘Adl dalam dirinya, tsabt teguh dalam periwayatannya, shaduq jujur dan benar dalam penyampaiannya, wara’ dalam agamanya, hafidz dan mutqin pada haditsnya. Demikian itu adalah perawi yang ‘adil yang boleh dijadikan hujjah dengan haditsnya, dan dipercaya peribadinya.
Di antara mereka ada yang shaduqwara’, shalih dan bertaqwa, dan tsabt; namun terkadang salah periwayatannya. Para ulama peneliti hadits masih menerimanya dan ia dapat dijadikan sebagai hujjah dalam haditsnya.
Di antara mereka ada yang shaduqwara’, bertaqwa, namun seringkali lalai, ragu, salah, dan lupa. Yang demikian ini boleh ditulis haditsnya bila terkait dengan targhib (motivasi) dan tarhib (ancaman), kezuhudan, dan adab. Adapun untuk masalah halal dan haram tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.
Adapun orang yang nampak darinya kebohongan, maka haditsnya ditinggalkan dan riwayatnya dibuang (Muqaddimah Al-Jarh wat-Ta’dil 1/10).
TINGKATAN-TINGKATAN AL-JARH WAT-TA’DIL
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu darjat dari segi keadilannya, kedhabitannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama’ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh kerana itu, para ulama’ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadz-lafadz yang menunjukkan pada setiap tingkatan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).

Tingkatan At-Ta’dil
1. Tingkatan Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2. Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadz mahupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafidz.
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidz.
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : ShaduqMa’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadz yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsiqahan perawi tersebut).
5. Tingkatan Kelima
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
6. Tingkatan Keenam
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).

Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini
1. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebahagian mereka lebih kuat dari sebahagian yang lain.
2. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedhabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dhabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
3. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, kerana mereka tidak dhabith.

Tingkatan Al-Jarh
1. Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
2. Tingkatan Kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dha’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identiti/kondisinya).
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dha’if jiddan (dha’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahawasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahawa hadits perawi itu sedikit).
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
5. Tingkatan Kelima
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kazdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadhdha’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadha’ (dia memalsukan hadits).
6. Tingkatan Keenam
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.

Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
1. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
2. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).

Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbahkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
Para penyusun mempunyai method yang berlainan :
a. Sebahagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dha’if saja dalam karyanya.
b. Sebahagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaah saja.
c. dan sebahagian lagi menggabungkan antara yang dha’if dan yang tsiqaah.
Sebahagian besar method yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka :
1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebahagian darinya berupa manuskrip.
2. Kitab Adh-Dhu’afaa’ul-Kabiir dan Adh-Dhu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-KabiirAl-Ausath, dan Ash-Shaghiir[/I].
3. Kitab Ats-Tsiqaah, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
4. Kitab Adh-Dhu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
5. Kitaab Adh-Dhu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
6. Kitab Adh-Dhu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.
7. Kitab Adh-Dhu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr bin Musa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.
8. Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaah, juga manuskrip.
Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi hadits secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi para tsiqaah saja, atau para dhu’afaa’ saja; seperti :
9. Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nombor.
10. Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faedahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan lainnya, sebahagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebahagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.
11. Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.
12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.
13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.
14. Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.
15. Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.
16. Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.
17. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.
18. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
19. Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.
20. Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam bab ini.
Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.
21. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
22. Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).
23. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.
24. Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.
25. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detail.
26. Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.
27. Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).
28. Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.
29. Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orangyang di-jarh.
30. Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.
31. Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H).
Kitab ini mencakup atas biografi sepuluh perawi dari kitab-kitab hadits, iaitu : al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya imam empat madzhab : Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini.



Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

HADITS QUDSI

Perbedaan hadtis dan hadits qudsi

Dalam kitab-kitab hadith didapati hadith Qudsi. Ulama' hadith mengatakan bahawa hadith Qudsi itu: ialah perkataan Nabi saw yang disebut dengan mengatakan Allah bertitah , disandarkan perkataan itu kepada Allah dan diriwayatkan daripadanya. 
Kesimpulannya Hadith Qudsi: ialah titah Allah yang disampaikan kepada Nabi saw di dalam mimpi atau dengan jalan ilham, lalu Nabi saw menerangkan apa yang disampaikan itu kepada umatnya dengan ibarat atau susunan perkataannya sendiri serta menyandarkan kepada Allah; sedang hadith-hadith yang lain tidak demikian itu. Hadith Qudsi itu dinamakan juga Hadith Ilahi atau Hadith Rabbani. 
Dan pernah pula dibezakan Hadith Qudsi dengan yang lainnya; iaitu segala hadith yang bersangkut dengan kebersihan atau kesucian zat Allah dan sifat-sifat kebesaran dan kemuliaanNya. [Kitab al-Dar al-Nadid min Majmu'ah al-Hafid] 
Contoh Hadith Qudsi itu, Rasulullah saw bersabda: 
"Firman Allah Ta'ala: Tiap-tiap amal anak Adam untuknya kecuali puasa, maka sesungguhnya puasa itu untukKu, dan Aku akan memberi balasan dengannya. Dan puasa itu perisai, maka apabila seorang kamu berpuasa janganlah ia memaki-maki, mencarut-carut dan janganlah dia menghiruk-pikukkan; maka jika dia dimaki oleh seorang atau hendak dibunuhnya, hendaklah ia katakan: aku ini berpuasa." (Hadith riwayat Bukhari & Muslim) 
Rasulullah saw bersabda: 
"Firman Allah Ta'ala: Aku menurut persangkaan hambaKu dan Aku bersamanya di mana saja ia sebut (ingat) akan daku." (Hadith riwayat Bukhari & Muslim)



Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

MATNUL HADITS DAN SANAD HADITS

Sanad Hadits

Sanad atau thariq ialah jalan yang dapat menghubungkan matnul hadits kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw. Misalnya, seperti kata Al-Bukhari: "Telah memberitakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsanna, ujarnya: 'Abdul Wahhab ats-Tsaqafi telah mengkhabarkan kepadaku, ujarnya: 'Telah bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Muhammad saw., sabdanya, 'Tiga perkara, yang barang siapa mengamalkannya, nescaya memperolehi kelazatan iman. Yakni, (1) Allah dan rasul-Nya hendaklah lebih dicintai daripada selainnya. (2) Kecintaannya kepada seseorang tidak lain kerana Allah semata-mata, dan (3) keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan ke neraka'." 
Maka, matnul hadits "thalasun" sampai dengan "an yuqdzafa finnar" diterima oleh Al-Bukhari melalui sanad pertama (Muhammad ibnul Mutsanna), sanad kedua (Abdul Wahhab ats-Tsaqafi), sanad ketiga (Ayyub), sanad keempat (Abi Qilabah) , dan seterusnya sampai sanad yang terakhir: Anas r.a., seorang sahabat yang langsung menerima sendiri dari Nabi Muhammad saw. 
Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahawa sabda Nabi tersebut disampaikan oleh sahabat Anas r.a. sebagai rawi pertama, kepada Abu Qilabah. Kemudian, Abu Qilabah sebagai rawi kedua menyampaikan kepada Ats-Tsaqafi, dan Ats-Tsaqafi sebagai rawi ketiga menyampaikan kepada Muhammad Ibnul Mutsanna, hingga sampai kepada Al-Bukhari sebagai rawi terakhir. Dengan demikian, Al-Bukhari itu menjadi sanad pertama dan rawi terakhir bagi kita. 
Dalam bidang ilmu hadits, sanad itu merupakan neraca untuk menimbang sahih atau tidaknya suatu hadis. Andaikata salah seorang dalam sanad-sanad itu ada yang fasik atau yang tertuduh dusta, maka daiflah hadis itu, hingga tidak dapat dijadikan hujah untuk menetapkan suatu hukum.

Matan (Matnul) Hadis

Yang disebut dengan matnul hadits ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir, baik pembicaraan itu sabda Rasulullah saw., sahabat, ataupun tabi'in; baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi mahupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi. Misalnya, perkataan sahabat Anas bin Malik r.a., "Kami bersalat bersama-sama Rasulullah saw. pada waktu udara sangat panas. Apabila salah seorang dari kami tidak sanggup menekankan dahinya di atas tanah, maka ia bentangkan pakaiannya, lantas sujud di atasnya."
Perkataan sahabat yang menjelaskan perbuatan salah seorang sahabat yang tidak disanggah oleh Rasulullah saw. (Kunna sampai dengan fasajada 'alaihi) disebut matnul hadits.
Sumber: Diadaptasi dari Ikhtisar Mushthalahul Hadits,



Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

GELAR PERAWI HADITS

Para imam hadis mendapat gelaran keahlian dalam bidang ilmu hadis sesuai dengan keahlian, kemahiran, dan kemampuan hafalan ribuan hadis beserta ilmu-ilmunya. Gelar keahlian itu ialah sebagai berikut.

Amirul Mu'minin fil Hadits 

Gelar ini sebenarnya diberikan kepada para khalifah setelah Khalifah Abu Bakar r.a. Para khalifah diberikan gelar demikian mengingat jawaban Nabi atas pertanyaan seorang sahabat tentang siapakah yang dikatakan khalifah, bahawa khalifah ialah orang-orang sepeninggalan Nabi yang sama meriwayatkan hadisnya. Pada muhaddisin pada masa itu seolah-olah berfungsi khalifah dalam menyampaikan sunah. Mereka yang memperoleh gelar ini antara lain Syu'bah Ibnul Hajjaj, Sufyan ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, Ahmad bin Hambal, Al-Bukhari, Ad-Daruquthni, dan Imam Muslim. 

Al-Hakim

Iaitu, suatu gelaran keahlian bagi imam-imam hadis yang menguasai seluruh hadis yang marwiyah (diriwayatkan), baik matan mahupun sanadnya dan mengetahui ta'dil (terpuji) dan tajrih (tercelanya) rawi-rawi. Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru-guru dan sifat-sifatnya yang dapat diterima mahupun yang ditolak. Ia harus dapat menghafal hadis lebih dari 300.000 hadis beserta sanadnya. Para muhaddisin yang mendapat gelaran ini antara lain Ibnu Dinar (meninggal 162 H), Al-Laits bin Sa'ad, seorang mawali yang menderita buta di akhir hayatnya (meninggal 175 H), Imam Malik (179), dan Imam Syafii (204 H). 

Al-Hujjah 

Iaitu, gelaran keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadis, baik matan, sanad, mahupun perihal si rawi tentang keadilannya, kecacatannya, biografinya (riwayat hidupnya). Para muhadisin yang mendapat gelaran ini antara lain ialah Hisyam bin Urwah (meninggal 146 H), Abu hudzail Muhammad bin Al-Walid (meninggal 149 H), dan Muhammad Abdullah bin Amr (meninggal 242 H). 

Al-Hafidz 

Ialah gelaran untuk ahli hadis yang dapat menshahihkan sanad dan matan hadis dan dapat men-ta'dil-kan dan men-jarh-kan rawinya. Seorang al-hafidh harus menghafal hadis-hadis sahih, mengetahui rawi yang waham (banyak purbasangka), illat-illat hadits dan istilah-istilah para muhadisin. Menurut sebahagian pendapat, al-hafidz itu harus mempunyai kapasiti menghafal 100.000 hadis. Para muhaddisin yang mendapat gelaran ini antara lain Al-Iraqi, Syarafuddin ad-Dimyathi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Ibnu Daqiqil Id.

Al-Muhaddits 

Menurut muhaddisin-muhadditsin mutaqaddimin, al-hafidz dan al-muhaddits itu sama erti. Tetapi, menurut mutaakhkhirin, al-hafidz itu lebih khusus daripada al-muhaddits. Kata At-Tajus Subhi, "Al-muhaddits ialah orang yang dapat mengetahui sanad-sanad, illat-illat, nama-nama rijal (rawi-rawi), ali (tinggi), dan nazil (rendah)-nya suatu hadis, memahami kutubus sittah: Musnad Ahmad, Sunan al-Baihaqi, Majmu Thabarani, dan menghafal hadis sekurang-kurangnya 100 buah. Muhaddisin yang mendapat gelaran ini antara lain Atha bin Abi Ribah (seorang mufti masyarakat Mekah, wafat 115 H) dan Imam Az-Zabidi (salah seorang ulama yang mengikhtisharkan kitab Bukhari-Muslim)." 

Al-Musnid 

Yakni, gelaran keahlian bagi orang yang meriwayatkan sanadnya, baik menguasai ilmunya mahupun tidak. Al-musnid juga disebut dengan at-thalib, al-mubtadi, dan ar-rawi.
Sumber: Diadaptasi dari Ikhtisar Mushthalahul Hadits,



Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

ISTILAH DALAM ILMU HADITS

Istilah istilah untuk hadits
Kebanyakan para muhadditsin berpendapat bahawa istilah al-hadits, al-khabar, al-atsar, dan as-sunnah adalah sinonim, meskipun di sana-sini ada ulama yang membezakannya, namun perbezaan itu tidaklah prinsipal. 
Misalnya, ada suatu pendapat yang membezakan bahawa pengertian al-hadits itu hanya terbatas pada apa yang datang dari Nabi Muhammad saw. saja, sedang al-khabar terbatas pada apa yang datang dari selainnya. Kerana itu, orang yang tekun kepada ilmu hadis saja disebut dengan muhaddits, sedangkan orang yang tekun kepada khabar disebut dengan akhbari. 
Ada pula pendapat yang membezakannya dari segi umum dan khusus muthlaq, yakni tiap-tiap hadits itu khabar, tetapi sebaliknya bahawa tiap-tiap khabar itu dapat dikatakan hadits. Di samping ada pendapat yang mengatakan bahawa atsar itu ialah yang datang dari sahabat, tabi'in, dan orang-orang sesudahnya, juga ada pendapat yag mengatakan bahawa istilah atsar itu lebih umum penggunaannya daripada istilah hadits dan khabar. Kerana, istilah atsar itu mencakup segala berita dan perilaku para sahabat, tabi'in, dan selainnya. 
Pada umumnya para muhadditsin memperkuat alasannya tentang persamaan keempat istilah tersebut dengan mengemukakan persesuaian maksud dalam pemakaiannya. Misalnya, istilah khabar mutawatir dipakai juga untuk hadits mutawatir, haditsun nabawi untuk sunnatun nabawi, dan ahli hadits mahupun ahli khabar juga disebut dengan ahli atsar (al-atsari).
Sumber: Diadaptasi dari Ikhtisar Mushthalahul Hadits,


Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

MAA HUA AL HADITS

Pengertian hadits

Para muhadditsin (ulama ahli hadis) berbeza pendapat di dalam mendefinisikan al-hadits. Hal itu kerana terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbezaan sifat peninjauan mereka itu, lahirlah dua macam pengertian tentang hadis, iaitu pengertian yang terbatas di satu pihak dan pengertian yang luas di pihak lain. 
Ta'rif (Definisi) Hadis yang Terbatas 
Musthalah hadith ialah satu ilmu untuk mengetahui istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu hadith. Orang yang mula menyusunnya ialah Qadhi Abu Mahmud al-Ramahramzi [Tahun 360 Hijrah]. 
Hadith menurut bahasa, ialah 
pertama: Yang baharu, 
Kedua: Perkhabaran, 
Ketiga: Yang dekat atau yang belum lama. 
Menurut istilah ahli hadith pula: ialah segala ucapan nabi, segala perbuatan dan segala keadaannya. Masuk ke dalam pengertian keadaannya, segala yang diriwayatkan dalam buku sejarah seperti hal keputraannya, tempatnya dan segala yang bertalian dengannya. Pengertian ini samalah dengan pengertian sunnah menurut istilah golongan ahli hadith. Tetapi pengertian ini berlainan dengan pengertian ahli usul. Dan sebab berlainan ini ialah kerana berlainan jurusan yang mereka lihat dan mereka tinjau. 
Ahli (ulama') hadith membahaskan peribadi rasul sebagai seorang yang dijadikan ikutan bagi umatnya. Kerana ini mereka pindahkan dan mereka terangkan segala yang bersangkutan dengan rasul, baik mengenai riwayat, perjalanannya, mengenai budi pekertinya, keutamaannya, keistimewaannya, tutur katanya, perbuatan-perbuatannya; sama ada yang dapat mewujudkan hukum atau tidak. 
Ulama' usul membahaskan rasul sebagai seorang pengatur undang-undang yang meletakkan atau menciptakan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid sesudahnya, dan menerangkan kepada manusia perlembagaan hidup (dustur al-hayat) maka mereka pun memperhatikan segala tutur kata rasul, perbuatan-perbuatannya dan taqrirnya, iaitu pengakuan-pengakuannya bersangkutan dengan perkara penetapan hukum. 
Sementara itu ulama' fiqh membahaskan peribadi rasul sebagai seorang yang seluruh perbuatannya atau perkataannya atau menunjukkan kepada suatu hukum syara'. Mereka membahaskan hukum-hukum yang mengenai para mukallaf dan perbuatan mereka dari segi hukum wajib, haram, harus, makruh dan mandub (sunat).
Dalam pengertian (definisi) yang terbatas, majoriti ahli hadis berpendapat sebagai berikut. "Al-hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., iaitu berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, dan yang sebagainya." 
Definisi ini mengandungi empat macam unsur: perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw. yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. saja, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada sahabat dan tidak pula kepada tabi'in. Pemberitaan tentang empat unsur tersebut yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. disebut berita yang marfu', yang disandarkan kepada para sahabat disebut berita mauquf, dan yang disandarkan kepada tabi'in disebut maqthu'.
1. Perkataan 
Yang dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad saw. ialah perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang: syariat, akidah, akhlak, pendidikan, dan sebagainya. Contoh perkataan beliau yang mengandungi hukum syariat seperti berikut. Nabi Muhammad saw. bersabda (yang ertinya), "Hanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperolehi apa yang ia niatkan ... (dan seterusnya)." Hukum yang terkandung dalam sabda Nabi tersebut ialah kewajiban niat dalam segala amal perbuatan untuk mendapatkan pengakuan sah dari syara'.
2. Perbuatan 
Perbuatan Nabi Muhammad saw. merupakan penjelasan praktis dari peraturan-peraturan yang belum jelas cara pelaksanaannya. Misalnya, cara cara bersalat dan cara menghadap kiblat dalam salat sunah di atas kenderaan yang sedang berjalan telah dipraktikkan oleh Nabi dengan perbuatannya di hadapan para sahabat. Perbuatan beliau tentang hal itu kita ketahui berdasarkan berita dari sahabat Jabir r.a., katanya, "Konon Rasulullah saw. bersalat di atas kenderaan (dengan menghadap kiblat) menurut kenderaan itu menghadap. Apabila beliau hendak salat fardu, beliau turun sebentar, terus menghadap kiblat." (HR Bukhari). 
Tetapi, tidak semua perbuatan Nabi saw. itu merupakan syariat yang harus dilaksanakan oleh semua umatnya. Ada perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang hanya spesifik untuk dirinya, bukan untuk ditaati oleh umatnya. Hal itu kerana adanya suatu dalil yang menunjukkan bahawa perbuatan itu memang hanya spesifik untuk Nabi saw. Adapun perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang hanya khusus untuk dirinya atau tidak termasuk syariat yang harus ditaati antara lain ialah sebagai berikut. 
a. Rasulullah saw. diperbolehkan menikahi perempuan lebih dari empat orang, dan menikahi perempuan tanpa mahar. Sebagai dalil adanya dispensasi menikahi perempuan tanpa mahar ialah firman Allah (yang ertinya) sebagai berikut. "... dan Kami halalkan seorang wanita mukminah menyerahkan dirinya kepada Nabi (untuk dinikahi tanpa mahar) bila Nabi menghendaki menikahinya, sebagai suatu kelonggaran untuk engkau (saja), bukan untuk kaum beriman umumnya." (Al-Ahzab: 50). 
b. Sebahagian tindakan Rasulullah saw. yang berdasarkan suatu kebijaksanaan semata-mata, yang bertalian dengan soal-soal keduniaan: perdagangan, pertanian, dan mengatur taktik perang. Misalnya, pada suatu hari Rasulullah saw. pernah kedatangan seorang sahabat yang tidak berhasil dalam penyerbukan putik kurma, lalu menanyakannya kepada beliau, maka Rasulullah menjawab bahawa "kamu adalah lebih tahu mengenai urusan keduniaan". Dan, pada waktu Perang Badar Rasulullah menempatkan divisi tentera di suatu tempat, yang kemudian ada seorang sahabat yang menanyakannya, apakah penempatan itu atas petunjuk dari Allah atau semata-mata pendapat dan siasat beliau. Rasulullah kemudian menjelaskannya bahawa tindakannya itu semata-mata menurut pendapat dan siasat beliau. Akhirnya, atas usul salah seorang sahabat, tempat tersebut dipindahkan ke tempat lain yang lebih strategik. 
c. Sebahagian perbuatan beliau peribadi sebagai manusia. Seperti, makan, minum, berpakaian, dan lain sebagainya. Tetapi, kalau perbuatan tersebut memberi suatu petunjuk tentang tata cara makan, minum, berpakaian, dan lain sebagainya, menurut pendapat yang lebih baik, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq dan kebanyakan para ahli hadis, hukumnya sunah. Misalnya, "Konon Nabi saw. mengenakan jubah (gamis) sampai di atas mata kaki." (HR Al-Hakim).
3. Taqrir 
Erti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau. Contohnya, dalam suatu jamuan makan, sahabat Khalid bin Walid menyajikan makanan daging biawak dan mempersilakan kepada Nabi untuk menikmatinya bersama para undangan.
Rasulullah saw. menjawab, "Tidak (maaf). Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya!"
Kata Khalid: "Segera aku memotongnya dan memakannya, sedang Rasulullah saw. melihat kepadaku." (HR Bukhari dan Muslim). 
Contoh lain adalah diamnya Nabi terhadap perempuan yang keluar rumah, berjalan di jalanan pergi ke masjid, dan mendengarkan ceramah-ceramah yang memang diundang untuk kepentingan suatu pertemuan. 
Adapun yang termasuk taqrir qauliyah iaitu apabila seseorang sahabat berkata "aku berbuat demikian atau sahabat berbuat berbuat begitu" di hadapan Rasul, dan beliau tidak mencegahnya. Tetapi ada syaratnya, iaitu perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang sahabat itu tidak mendapat sanggahan dan disandarkan sewaktu Rasulullah masih hidup dan orang yang melakukan itu orang yang taat kepada agama Islam. Sebab, diamnya Nabi terhadap apa yang dilakukan atau diucapkan oleh orang kafir atau munafik bukan bererti menyetujuinya. Memang sering nabi mendiamkan apa-apa yang diakukan oleh orang munafik lantaran beliau tahu bahawa banyak petunjuk yang tidak memberi manfaat kepadanya.
4. Sifat-Sifat, Keadaan-Keadaan, dan Himmah (Hasrat) Rasulullah 
Sifat-sifat beliau yang termasuk unsur al-hadits ialah sebagai berikut.
a. Sifat-sifat beliau yang dilukiskan oleh para sahabat dan ahli tarikh (sejarah), seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniah beliau yang dilukiskan oleh sahabat Anas r.a. sebagai berikut. "Rasulullah itu adalah sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek." (HR Bukhari dan Muslim). 
b. Silsilah-silsilah, nama-nama, dan tahun kelahiran yang telah ditetapkan oleh para sahabat dan ahli sejarah. Contoh mengenai tahun kelahiran beliau seperti apa yang dikatakan oleh Qais bin Mahramah r.a. "Aku dan Rasulullah saw. dilahirkan pada tahun gajah." (HR Tirmizi). 
c. Himmah (hasrat) beliau yang belum sempat direalisasi. Misalnya, hasrat beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. "Tatkala Rasulullah saw. berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata, 'Ya Rasulullah, bahawa hari ini adalah yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.' Sahut Rasulullah, 'Tahun yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan'." (HR Muslim dan Abu Daud). 
Tetapi, Rasulullah tidak menjalankan puasa pada tahun depan kerana wafat. Menurut Imam Syafii dan rakan-rakannya, menjalankan himmah itu disunahkan, kerana ia termasuk salah satu bahagian sunah, yakni sunnah hammiyah. 
Ringkasnya, menurut ta'rif (definisi) yang terbatas yang dikemukakan oleh majoriti ahli hadis di atas, pengertian hadis itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. saja, sedang segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, tabi'in, atau tabi'it tabi'in, tidak termasuk al-hadits. 
Dengan memperhatikan macam-macam unsur hadis dan mana yang harus didahulukan mengamalkannya, bila ada perlawanan antara unsur-unsur tersebut, majoriti ahli hadis membahagi hadis berturut-turut sebagai berikut. 
a. Sunnah qauliyah,
b. Sunnah fi'liyah,
c. Sunah taqririyah, dan
d. Sunnah hammiyah.

Pengertian Sunnah 
Sunnah menurut bahasa: ialah jalan yang dilalui sama ada terpuji atau tidak; juga suatu adat yang telah dibiasakan walaupun tidak baik. 
Rasul SAW bersabda: 
"Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga sekiranya mereka memasuki lubang dab (serupa binatang biawak) nescaya kamu memasukinya juga." (Hadith riwayat Muslim) 
"Barangsiapa menjalani suatu sunnah (perjalanan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala yang mengerjakan dengannya hingga hari qiamat, dan barangsiapa mengadakan suatu sunnah (perjalanan) yang jahat (buruk) maka atasnya dosanya dan dosa orang yang mengerjakan dengannya hingga hari qiamat." (Hadith riwayat Bukhari & Muslim) 
Jelaslah bahawa menurut hadith tersebut, perkataan sunnah itu diertikan dengan perjalanan, sama ada baik atau pun yang jahat, sebagaimana yang dimaksudkan oleh bahasa. 
Sunnah menurut istilah ahli hadith: ialah segala yang dipindahkan dari nabi sallallahu 'alayhi wa sallam baik yang merupakan perkataan, perbuatan, mahupun yang merupakan taqrir, sebelum nabi dibangkitkan menjadi rasul, mahupun sesudahnya. Kebanyakan ahli hadith menetapkan bahawa pengertian yang demikian sama dengan pengertian hadith. 
Sunnah menurut pengertian dan istilah ahli usul: ialah segala yang dipindahkan dari nabi sallallahu 'alayhi wa sallam sama ada perkataannya dan perbuatannya, mahupun taqrirnya yang bersangkutan dengan hukum. Inilah pengertian yang dimaksudkan oleh sabdanya ini: 
"Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara tidak akan kamu sesat selama kamu berpegang dengan keduanya: iaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasulnya". (Hadith riwayat Malik) 
1. Contoh sunnah (hadith) perkataan(qauliyyah) ialah: 
"Segala 'amal itu dengan niat." [Riwayat Bukhari, Muslim dan sekelian
ulama' hadith] 
2. Contoh sunnah (hadith) perbuatan (fi'iliyyah) ialah: 
"Bersembahyanglah kamu sebagaimana kamu melihat aku bersembahyang." [Riwayat Bukhari dan Muslim] 
3. Contoh hadith (sunnah) taqrir. Taqrir ialah: 
(a) Nabi SAW membenarkan apa yang diperbuat oleh seorang sahabat dengan tidak mencegah atau menyalahkan serta menunjukkan keredaannya;
(B) menerangkan kebagusan yang diperbuat itu serta dikuatkan pula. 
Contoh yang pertama ialah sebagaimana Nabi saw membenarkan ijtihad para sahabat mengenai urusan sembahyang 'Asar di Bani Quraizah dengan sabdanya: 
"Jangan bersembahyang seorang kamu melainkan di Bani Quraizah." [Riwayat Bukhari] 
Sebahagian sahabat memahamkan perkataan itu menurut hakikat larangannya lalu menta'khirkan sembahyang 'Asar itu sampai selepas Maghrib. Dan ada sebahagian yang lain tidak memahamkan demikian, mereka memahamkan bahawa yang dimaksudkan nabi bercepat-cepat pergi ke Bani Quraizah. Kerana itu mereka mengerjakan sembahyang 'Asar pada waktunya, sebelum tiba ke Bani Quraizah. 
Kedua-dua perbuatan sahabat yang berlainan oleh berlainan ijtihad sampai kepada Nabi saw beritanya, dan Nabi saw tinggal berdiam diri tidak membantah apa-apa. 
Contoh yang kedua sebagaimana yang diriwayatkan bahawa Khalid bin Walid pernah memakan dab (serupa binatang biawak) kemudian dikemukakan orang kepada Nabi saw. Nabi saw sendiri enggan memakannya, maka bertanya sebahagian sahabat: 
"Adakah diharamkan makannya ya Rasulullah? Lalu ia bersabda: Tidak! cuma binatang itu tidak ada di negeri kaumku, kerana itu aku tidak gemar kepadanya." 
Selanjutnya pernah juga dinamakan sunnah itu suatu yang ditunjuki oleh dalil syara', baik berdasarkan dalil Qur'an atau pun berdasarkan hadith, mahu pun berdasarkan ijtihad para sahabat, seperti mengumpulkan mashaf(Qur'an) dan menyuruh manusia membaca menurut suhuf 'Uthman, dan seperti membukukan ilmu (menyusun dan mengarangnya). 
Lawan dari sunnah ini ialah bid'ah, inilah yang dimaksudkan oleh hadith: 
"Berpeganglah kamu sungguh-sungguh dengan sunnahku dan sunnah khalifah-khalifah yang mendapat pertunjuk sesudahku." [Abu Daud & Tarmizi] 
Sementara itu ulama' fiqh berpendapat, bahawa suatu yang diterima dari Nabi saw dengan tidak difardukan dan tidak diwajibkan dinamakan sunnah. Imbangannya ialah wajib, haram, makruh dan mubah. Lawannya ialah bid'ah; talak yang dijatuhkan dalam haid menurut mereka dinamakan: talak bid'ah. 
Ulama' Syafi'e mengatakan bahawa sunnah itu: ialah suatu yang dipahalai orang yang mengerjakannya, tidak disiksai orang yang meninggalkannya. 
Menurut ulama' mazhab Hanafi, sunnah itu: ialah suatu yang disunnahkan Nabi saw atau para khalifah serta dikekalkan mengerjakannya, seperti azan dan berjama'ah.
Sumber:
1- Diadaptasi dari Ikhtisar Mushthalahul Hadits,
Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

HUKUM MEMPELAJARI HADITS DAN HUKUM ILMUNYA

Mengingat fungsi ilmu hadis sangat menentukan terhadap pemakaian nas sebagai pedoman beramal, tidak sedikit para ulama yang memberikan tanggapan atas ketentuan hukum mempelajari ilmu hadis. 
Imam Sufyan Sauri berkata (ertinya), "Saya tidak mengenal ilmu yang lebih utama bagi orang yang berhasrat menundukkan wajahnya di hadapan Allah selain daripada ilmu hadis. Orang-orang sangat memerlukan ilmu ini, sampai kepada soal-soal kecil sekalipun, seperti makan dan minum, memerlukan petunjuk dari al-hadits. Mempelajari ilmu hadis lebih utama daripada menjalankan salat dan puasa sunah, kerana mempelajari ilmu ini adalah fardu kifayah, sedangkan solat sunah dan puasa sunah hukumnya sunnah." 
Imam Asy-Syafii berkata, "Demi umurku, soal ilmu hadis ini termasuk tiang agama yang paling kukuh dan keyakinan yang paling teguh. Tidak digemari untuk menyiarkannya selain oleh orang-orang yang jujur lagi takwa, dan tidak dibenci untuk menyiarkannya selain oleh orang-orang munafik lagi celaka." 
Al-Hakim menandaskan, "Andaikata tidak banyak orang yang menghafal sanad hadis, nescaya menara Islam roboh dan niscaya para ahli bidah berkiprah membuat hadis palsu dan memutarbalikkan sanad."
Sumber: Diadaptasi dari Ikhtisar Mushthalahul Hadits,


Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

IMAM ABU DAUD (Sejarah Ahli Hadits)

Nama lengkap Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani.Beliau adalah Imam dan tokoh ahli hadits, serta pengarang kitab sunan. Beliau dilahirkan tahun 202 H. di Sijistan. Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmunya. Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk melanglang ke berbagai negeri. Dia belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengemba-raannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan. Abu Dawud sudah berulang kali mengunjungi Bagdad. Di kota itu, dia me-ngajar hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab sunan sebagai buku pe-gangan. Kitab sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.
Guru-gurunya
Jumlah guru Imam Abu Dawud sangat banyak. Di antara gurunya yang paling menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal, al-Qan’abi, Abu Amar ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin raja’, Abdul Walid at-Tayalisi dan lain--lain. Sebagian gurunya ada yang menjadi guru Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abu Syaibah dan Qutaibah bin sa’id.
Murid-muridnya
Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan hadits-nya antara lain Abu Isa at-Tirmizi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awana, Abu Sa’id aI-Arabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.
Sifat dan kepribadiannya
Abu Dawud termasuk ulama yang mencapai derajat tinggi dalam beribadah, kesucian diri, kesalihan dan wara’ yang patut diteladani. Sebagian ulama berkata: "Perilaku Abu Dawud, sifat dan kepribadiannya menyerupai Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal menyerupai Waki’, Waki' seperti Sufyan as-Sauri, Sufyan seperti Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai Alqamah. "Alqamah seperti Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Mas’ud seperti Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sifat dan kepribadian seperti ini menunjukkan kesempurnaan beragama, prilaku dan akhlak Abu Dawud.Abu Dawud mempunyai falsafah tersendiri dalam berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit. Bila ada yang bertanya, dia menjawab: "Lengan yang lebar ini untuk membawa kitab, sedang yang satunya tidak diperlukan. Kalau dia lebar, berarti pemborosan."
Ulama memuji Abu Dawud 
Abu Dawud adalah seorang tokoh ahli hadits yang menghafal dan memahami hadits beserta illatnya. Dia mendapatkan kehormatan dari para ulama, terutama dari gurunya, Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Hafiz Musa bin Harun berkata: "Abu Dawud diciptakan di dunia untuk Hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dari dia." 
Sahal bin Abdullah at-Tastari, seorang sufi yang alim mengunjungi Abu Dawud dan berkata: "Saya adalah Sahal, datang untuk mengunjungimu." Abu Dawud menyambutnya dengan hormat dan mempersilakan duduk. Lalu Sahal berkata: "Abu Dawud, saya ada keperluan." Dia bertanya: "Keperluan apa?" Sahal menjawab: "Nanti saya katakan, asalkan engkau berjanji memenuhi permintaanku." Abu Dawud menjawab: "Jika aku mampu pasti kuturuti." Lalu Sahal mengatakan: "Julurkanlah lidahmu yang engkau gunakan meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam sehingga aku dapat menciumnya" Lalu Abu Dawud menjulurkan lidahnya kemudian dicium Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang Ulama hadits, berkata: "Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagai-mana besi dilunakkan untuk Nabi Dawud." Ungkapan itu adalah perumpama-an bagi keistimewaan seorang ahli hadits. Dia telah mempermudah yang rumit dan mendekatkan yang jauh, serta memudahkan yang sukar.
Seorang Ulama hadits dan fiqih terkemuka yang bermazhab Hanbali, Abu Bakar al-Khallal, berkata: "Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani adalah Imam terkemuka pada jamannya, penggali beberapa bidang ilmu sekaligus mengetahui tempatnya, dan tak seorang pun di masanya dapat me-nandinginya.
Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah selalu menyanjung Abu Dawud, dan mereka memujinya yang belum pernah diberikan kepada siapa pun di masanya.Mazhab yang diikuti Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq As-Syirazi dalam Tabaqatul Fuqaha menggolong-kan Abu Dawud sebagai murid Imam Ahmad bin Hanbal. Begitu pula Qadi Abdul Husain Muhammad bin Qadi Abu Ya’la (wafat tahun 526 H.) yang termaktub dalam kitab Tabaqatul Hanabilah. Penilaian ini disebabkan, Imam Ahmad adalah guru Abu Dawud yang istimewa. Ada yang mengatakan bahwa dia bermazhab Syafi’i.
Memuliakan ilmu dan ulama
Sikap Abu Dawud yang memuliakan ilmu dan ulama ini dapat diketahui dari kisah yang diceritakan oleh Imam al-Khattabi dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Dia berkata: "Aku bersama Abu Dawud tinggal di Bagdad. Di suatu saat, ketika kami usai melakukan shalat magrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu kubuka pintu dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq minta ijin untuk masuk. Kemudian aku memberitahu Abu Dawud dan ia pun mengijinkan, lalu Amir duduk. Kemudian Abu Dawud bertanya: "Apa yang mendorong Amir ke sini?" Amir pun menjawab "Ada tiga kepentingan". "Kepentingan apa?" Tanya Abu Dawud. Amir mengatakan: "Sebaiknya anda tinggal di Basrah, supaya para pelajar dari seluruh dunia belajar kepadamu. Dengan demikian kota Basrah akan makmur lagi. Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji."
Abu Dawud berkata: "itu yang pertama, lalu apa yang kedua?" Amir menjawab: "Hendaknya anda mau mengajarkan sunan kepada anak-anakku." "Yang ketiga?" tanya Abu Dawud. "Hendaklah anda membuat majlis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada keluarga khalifah, sebab mereka enggan duduk bersama orang umum." Abu Dawud menjawab: "Permintaan ketiga tidak bisa kukabulkan. Sebab derajat manusia itu, baik pejabat terhormat maupun rakyat jelata, dalam menuntut ilmu dipandang sama." Ibnu Jabir menjelaskan: "Sejak itu putra-putra khalifah menghadiri majlis taklim, duduk bersama orang umum, dengan diberi tirai pemisah".
Begitulah seharusnya, ulama tidak mendatangi raja atau penguasa, tetapi merekalah yang harus mengunjungi ulama. Itulah kesamaan derajat dalam mencari ilmu pengetahuan.
Wafatnya
Setelah hidup penuh dengan kegiatan ilmu, mengumpulkan dan menyebarluaskan hadits, Abu Dawud wafat di Basrah, tempat tinggal atas per-mintaan Amir sebagaimana yang telah diceritakan. la wafat tanggal 16 Syawal 275 H. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridanya kepada-nya.
Putra Abu Dawud
Imam Abu Dawud meninggalkan seorang putra bernama Abu Bakar Abdullah bin Abu Dawud. Dia adalah seorang Imam hadits putra seorang imam hadits pula. Dilahirkan tahun 230 H. dan wafat tahun 316 H.
Kitab karangan Abu Dawud
Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain:
1. Kitab as-Sunan
2. Kitab al-Marasil
3. Kitab al-Qadar
4. An-Nasikh Wal Mansukh
5. Fada'ilul A’mal
6. Kitab az-Zuhud
7. Dalailun Nubuwah
8. Ibtida’ul Wahyu
9. Ahbarul Khawarij
Di antara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab as-Sunan, yang biasa dikenal dengan Sunan Abu Dawud.
Sumber: Fi Rihabi as-Sunnah al Kutubi al-Shihahi al-Sittah
Sumber : http://bayyatulhikmah.blogspot.com/2011/04/imam-abu-daud.html


Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

IMAM AN NAWAWI (Sejarah Ahli Hadits)

Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Iapun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata : “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya,baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy,Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.
Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.
Beliau digelari Muhyiddin ( yang menghidupkan agama ) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata :”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin”.
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: ”Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa !?” Beliau menjawab: ”Karena berisi kedhaliman yang nyata”. Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya”. Para pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama sekali. Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya”.
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
Dalam bidang hadits : Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al- Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
Secara umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada uluma-ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah Subhanah. Beliau kadang menta’wil dan kadang–kadang tafwidh. Orang yang memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah muhaqqiq dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab ini beliau banyak mendasarkan pendapat beliau pada nukilan–nukilan dari para ulama tanpa mengomentarinya.
Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena beliau banyak menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau karena adanya beberapa kesalahan didalamnya.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: ”Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).
Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafarahu-.


Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

IMAM AL BAIHAQI (Sejarah Ahli Hadits)

Imam Al Baihaqi, yang bernama lengkap Imam Al-Hafith Al-Mutaqin Abu Bakr Ahmed ibn Al-Hussein ibn Ali ibn Musa Al Khusrujardi Al-Baihaqi, adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran kota Baihaq) dan penulis banyak buku terkenal.
Masa pendidikannya dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari berbagai negara, di antaranya Iman Abul Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi, Abu Tahir Al-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, penulis kitab "Al Mustadrik of Sahih Muslim and Sahih Al-Bukhari", Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn Furik, Abu Ali Al-Ruthabari of Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn Busran.
Para ulama itu tinggal di berbagai tempat terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi harus menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan senang hati, demi memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam.
As-Sabki menyatakan: "Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan memberi petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai 'Tali Allah' dan memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal hadits."
Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya "Thail Tareekh Naisabouri": Abu Bakr Al-Baihaqi Al Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari beragam ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku.
Imam Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari beragam sumber terpercaya. Pemimpin Islam memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya langsung dan mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna mendengarkan penjelasan mengenai buku 'Al Ma'rifa'. Banyak imam terkemuka turut hadir.
Imam Baihaqi hidup ketika kekacauan sedang marak di berbagai negeri Islam. Saat itu kaum muslim terpecah-belah berdasarkan politik, fikih, dan pemikiran. Antara kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk menceraiberaikan mereka. Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap ajaran agama. Dia memberikan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku keseharian.
Sementara itu, dalam Wafiyatul A'yam, Ibnu Khalkan menulis, "Dia hidup zuhud, banyak beribadah, wara', dan mencontoh para salafus shalih."
Beliau terkenal sebagai seorang yang memiliki kecintaan besar terhadap hadits dan fikih. Dari situlah kemudian Imam Baihaqi populer sebagai pakar ilmu hadits dan fikih.
Setelah sekian lama menuntut ilmu kepada para ulama senior di berbagai negeri Islam, Imam Baihaqi kembali lagi ke tempat asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai menyebarkan berbagai ilmu yang telah didapatnya selama mengembara ke berbagai negeri Islam. Ia mulai banyak mengajar.
Selain mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam deretan para penulis buku yang produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih, hingga tarikh. Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-karyanya itu. Hal itu lantaran pembahasannya yang demikian luas dan mendalam.
Meski dipandang sebagai ahli hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadits dari Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah. Dia juga tidak pernah berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Dia menggunakan Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim secara bebas.
Menurut ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar, namun beliau mahir meriwayatkan hadits karena benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadits dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad (sandaran atau rangkaian perawi hadits).
Di antara karya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India, 10 jilid tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah mendapat penghargaan tertinggi.
Dari pernyataan as-Subki, ahli fikih, usul fikih serta hadits, tidak ada yang lebih baik dari kitab ini, baik dalam penyesuaian susunannya maupun mutunya.
Dalam karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal lainnya, seperti hadits-hadits dan para ahli hadits. Selain itu, setiap jilid cetakan Hyderabat itu memuat indeks yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk periwayatannya.
Itulah di antara sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya tulis yang hingga sekarang pun tidak usai-usai juga dikaji orang.
Imam terkemuka ini meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, seperti Imam Baihaqi.
Sejumlah buku penting lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain buku "As-Sunnan Al Kubra", "Sheub Al Iman", "Tha La'il An Nabuwwa", "Al Asma wa As Sifat", dan "Ma'rifat As Sunnan cal Al Athaar".
Sumber: http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=162


Info: Sobat punya Web/Blog???!!  Buat nambah penghasilan, Pasang Iklan di blog/Webnya Untuk Daftar KLIK DISINI Pasang benner di blog Sobat.atau DAFTAR DISINI ATAU DAFTAR DISINI ATAU : DAFTAR PerfectMoney CARANYA BACA : PASANG IKLAN/BANNER DI WEB/BLOG RAIH HASILNYA

DOWNLOAD MP3 KAJIAN HIKAM DARI MULAI HIKMAH KE-1 DAN SETERUSNYA

 Selamat Datang di Blog Saya, saya do'akan sobat semua sehat selalu, bagi sobat yang membutuhkan kajian hikam perhikmah dari mulai hikam...