Monday, May 8, 2017

Imam Qusyairy. RA



Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairy. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak, antara lain yang bisa kita sebutkan:

1. An-Naisabury

Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh,

Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin 'Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairy hingga akhir hayatnya.

2. Al-Qusyairy

Dalam kitab al Ansaab' disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu'jamu Qabailil 'Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka'b bin Rabi'ah bin Amir bin Sha'sha'ah bin Mu'awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.
Affiliate Program Get Money from your Website
3. Al-Istiwaiy

Mereka yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.

4. Asy-Syafi'y

Dihubungkan pada mazhab asy Syafi'y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi'y (150 204 H./767 820 M.).

5. GelarKehormatan

Ia memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa'mi bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan seterusnya.

Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf

Nasab Ibundanya

Ustadz asy Syeikh mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda dengan kriterianya.

Kelahiran dan Wafatnya

Ketika ditanya tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa ia lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja' al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.

Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.

Kehidupan Al-Qusyairy

Masa Kecil

Kami tidak mengenal masa kecil al Ustadz asy Syeikh al Qusyairy, kecuali hanya sedikit. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Affiliate Program Get Money from your Website
Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.

Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para Ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampai di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.

Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.

Ustadz asy Syeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali ad-Daqqaq dengan panggilan asy-Syahid.

Kepandaian Berkuda

Al Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan.

Perkawinan

Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury (ad Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405- 412 H./1014-1021 M.

Putra putrinya

Al Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa'id Abdullah, 2) Abu Sa'id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu an Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy'ari. Abu an Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun'im. Sedangkan seorang putrinya, bernama Amatul Karim.

Di antara salah satu cucunya adalah Abul As'ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa'id bin Abul Qasim al Qusyairy.

Menunaikan Haji

Maha Guru Syeikh ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para Ulama terkenal, antara lain: 1) Syeikh Abu Muhammad Abdullah binYusuf al-Juwainy (wafat 438 H./1047 M.), salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, 2) Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-Balhaqy (384 458 H./994 1066 M.), seorang Ulama pengarang besar, dan 3) Sejumlah besar Ulama ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu.

Kudanya

Dikisahkan, di antara salah satu dari sekian karamah Maha Guru Syeikh al-Qusyairy ini, antara lain ia memiliki kuda, hadiah dari seseorang. Kuda itu mengabdi kepada Syeikh selama 20 tahun. Ketika Syeikh meninggal, si kuda amat sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan, hingga kuda itu pun mati.

Belajar dan Mengajar

Para Guru

Para guru yang menjadi pembimbing Syeikh al Qusyairy tercatat:

Ibnu Khalikan dalam Waftyatul Ayan, menyebutkan nada yang memujinya, begitu pula dalam Thabaqatus Syafi'iyah, karya Tajudddin as-Subky.

Murid muridnya yang Terkenal

Abu Bakr - Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdady (392463 H./1002 1072 M.).

Abu Ibrahim - Ismail bin Husain al-Husainy (wafat 531 H./l 137 M.)

Abu Muhammad - Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy an-Naisabury.

Abul Qasim - Sulaiman bin Nashir bin Imran al-Anshary (wafat 512 H/118 M.)

Abu Bakr - Syah bin Ahmad asy-Syadiyakhy.

Abu Muhammad - Abdul Jabbar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawary.

Abu Bakr bin Abdurrahman bin Abdullah al-Bahity.

Abu Muhammad - Abdullah bin Atha'al-Ibrahimy al-Harawy.

Abu Abdullah - Muhammad ibnul Fadhl bin Ahmad al-Farawy (441530 H./1050 1136 M.)

Abdul Wahab ibnus Syah Abul Futuh asy-Syadiyakhy an-Naisabury.

Abu Ali - al-Fadhl bin Muhammad bin Ali al-Qashbany (444 H/ 1052 M).

Abul Tath - Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Khuzaimy.

Cobaan yang Menghadang

Ketika popularitasnya di Naisabur semakin meluas, Maha Guru telah mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan dendam dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut menganjurkan agar menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar propaganda. Fitnah itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan kebohongan kepada orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar berhasil dalam merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana yang begitu dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran, sebagaimana diceritakan oleh as-Subky.

Mereka yang mengecam. Al-Qusyairy rata-rata kaum Mu'tazilah dan neo-Hanbalian, yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairy, dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri itu.

Akhirnya para murid muridnya bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya, bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di selasela masa yang getir itu, beliau pergi ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada waktu waktu luangnya, beliau pergi ke Thous.

Ketika peristiwa Thurghulbeg yang tragis berakhir dan tampuk Khalifah diambil alih oleh Abu Syuja', al-Qusyairy kembali bersama rombongan berhijrah dari Khurasan ke Naisabur, hingga sepuluh tahun di kota itu. Sebuah masa yang sangat membahagiakan dirinya, karena pengikut dan murid muridnya bertambah banyak.










Affiliate Program Get Money from your Website

Sunday, May 7, 2017

Syekh Junaidy Al-bagdady

Affiliate Program Get Money from your Website


Dalam kitab Tadzkiratul Auliya, Syeikh Fariduddin ‘Aththar menjelaskan, bahwa Syeikh Abul Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad al-Zujaj (Junayd al-Baghdadi) adalah putera dari seorang pedagang barang pecah belah (kaca) dari Nahawand dan keponakan Sarri as-Saqathi, Ia juga dekat dengan Al-Muhasibi. Beliau lahir dan besar di Irak.





Abul Qasim Al-Junayd merupakan tokoh paling terkemuka dari mazhab Tasawuf, bahkan kelak beliau mendapat gelar sebagai Sayyidush Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi).







Ia memerinci sebuah doktrin teosofikal yang menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme ortodoks dalam Islam.





Ia menjelaskan teori-teorinya dalam pengajaran-pengajarannya, serta dalam serangkaian suratnya yang hingga kini masih ada, yang ditujukan kepada sejumlah tokoh pada masanya.





Abul Qasim Al-Junayd merupakan pemimpin sebuah mazhab yang besar dan berpengaruh. Beliau juga dikenal sebagai seorang mufti dalam mazhab Abu Tsaur, murid Imam Syafi’i.





Al-Junayd wafat di Baghdad pada hari Sabtu tahun 297H/910M.





Masa Kecil Junayd al-Baghdadi





Sejak kecil, Junayd telah memiliki kedalaman spiritual, telah menjadi seorang pencari Tuhan yang bersungguh-sungguh, sangat disiplin, bijaksana, cepat mengerti dan memiliki intiusi yang tajam.





Suatu hari, ia pulang ke rumah dari sekolah. Ia menemukan ayahnya tengah menangis.





“Ayah, apa yang terjadi?” Tanya Junayd.





“Ayah ingin memberikan sedekah kepada pamanmu, Sarri,” tutur sang ayah. “Namun ia tidak mau menerimanya. Ayah menangis karena ayah telah mencurahkan seluruh hidup ayah untuk dapat menyisihkan uang lima dirham ini, namun ternyata uang ini tidak memenuhi syarat untuk dapat diterima oleh salah seorang sahabat Allah.”





“Berikan uang itu kepadaku dan aku akan memberikannya kepada paman Sarri. Dengan begitu, ia mungkin mau menerimanya,” kata Junayd.





Sang ayah memberikan uang itu kepadanya, lalu Junayd pun pergi. Sesampainya di rumah pamannya, Junayd mengetuk pintu.





“Siapa itu?” terdengar suara dari dalam rumah.





“Junayd,” jawab sang bocah. “Buka pintu dan terimalah tawaran sedekah ini.





“Aku tidak menerimanya,” pekik Sarri.





“Aku mohon, terimalah ini, demi Allah Yang telah begitu dermawan padamu dan telah bagitu adil pada ayahku,” pekik Junayd.





“Junayd, apa maksudmu Allah begitu dermawan kepadaku dan begitu adil kepada ayahmu?” Tanya Sarri.





Junayd manjawab, “Allah begitu dermawan padamu karena Dia menganugerahimu kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku, Allah telah begitu adil dengan menyibukkannya dengan urusan-urusan dunia. Engkau memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak sekehendak hatimu. Sedangkan ayahku, suka atau tidak, harus menyampaikan sedekah yang dititipkan Allah padanya kepada orang yang berhak.”





Jawaban Junayd ini menyenangkan hati Sarri. “Anakku, sebelum aku menerima sedekah ini, aku telah lebih dulu menerimamu,” ujar Sarri.





Setelah berkata begiru, Sarri membuka pintu dan menerima sedekah itu. Ia menempatkan Junayd di tempat yang istimewa dalam hatinya.





Junayd baru berusia tujuh tahun saat Sarri mengajaknya berhaji. Di Masjidil Haram, masalah syukur tengah dibahas oleh empat ratus syeikh. Masing-masing syeikh mengemukakan pandangannya.





“Utarakanlah pendapatmu,” kata Sarri pada Junayd.





Junayd berkata, “Syukur berarti engkau tidak bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu, juga tidak menjadikan karunia-Nya sebagai sumber ketidak-taatan pada-Nya.





“Bagus sekali, benar-benar merupakan pelipur lara bagi para Mukmin sejati,” pekik para syeikh itu.





Keempat ratus syeikh itu sepakat, bahwa tidak ada definisi syukur yang lebih baik daripada apa yang telah dikatakan oleh Junayd.





“Anakku,” ujar Sarri, “segera tiba saatnya, lidahmu menjadi sebuah karunia istimewa dari Allah untukmu.”





Junayd menangis tatkala




Affiliate Program Get Money from your Website


mendengan pamannnya berkata begitu.





“Darimana engkau belajar?” tanya Sarri.





“Dari duduk bersamamu,” jawab Junayd.





Junayd lalu kembali ke Baghdad dan menjadi penjual barang pecah belah. Setiap hari ia pergi ke tokonya, menutup tirai toko, lalu mendirikan shalat empat ratus rakaat.





Selang bebenapa lama, Ia akan meninggalkan tokonya dan pergi kesebuah ruangan di serambi rumah Sarri. Disana ia menyibukkan diri dengan penjagaan hati. Ia menghamparkan “sajadah wara’”, sehingga tak ada sesuatu pun yang terlintas di pikiran selain Allah.





Junayd Menunjukkan Bukti





Selama empat puluh tahun, Junayd sibuk menekuni latihan sufi. Selama tiga puluh tahun, ia mendirikan salat malam, lalu berdiri dan mengulang-ulang lafadz ‘Allah’ hingga fajar, kemudian ia mendirikan shalat subuh dengan wudlu yang ia lakukan pada malam sebelumnya.





Ia berkata, “Setelah empat puluh tahun berlalu, kesombongan merasuki diriku; aku merasa telah mencapai tujuanku. Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari langit berbicara padaku, “Junayd, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk memperlihatkan padamu ikatan korset bagimu.”





Ketika aku mendengar kata-kata ini, aku pun berseru, “Ya Allah, dosa apa yang telah dilakukan oleh Junayd?”





Suara itu menjawab, “Untuk apa engkau tanyakan itu? Apakah engkau ingin mencari-cari dosa yang lebih menyedihkan daripada apa yang engkau perbuat?” Junayd menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya.





Ia berbisik, “Ia, yang tidak cukup berharga untuk penyatuan, segala perbuatan baiknya adalah dosa.”





Ia, terus duduk di dalam kamarnya sambil memekik “Allah... Allah...” sepanjang malam.





Lidah-lidah panjang para pemfitnah menyerangnya dan tingkah lakunya dilaporkan kepada Khalifah.





“Ia tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata sang Khalifah.





Mereka (Para pemfitnah menyatakan, “Banyak orang tergoda oleh kata-katanya.”





Sang Khalifah mempunyai seorang budak wanita yang kecantikannya tak ada duanya. Sang Khalifah sangat mencintainya, ia membeli budak wanita itu seharga tiga ribu dinar. Sang Khalifah memerintahkan





agar budak wanita itu didandani dengan pakaian bagus dan perhiasan-perhiasan mahal.





Sang Khalifah memberikan instruksi kepada budak wanita itu, “Pergilah ke suatu tempat. Berdirilah di dekat Junayd dan perlihatkan wajahmu. Biarkan ia melihat perhiasan dan pakaianmu. Katakan padanya, ‘Aku memiliki harta benda yang berlimpah namun hatiku telah lelah dengan urusan-urusan duniawi. Aku datang ke sini untuk memintamu melamarku, agar dengan bimbinganmu aku dapat mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya. Hatiku tidak menemukan ketenangan kecuali dalam dirimu.’ Pertontonkan dirimu padanya. Perlihatkan kecantikanmu, dan berusahalah sekuat tenaga untuk membujuknya.”





Budak wanita itu pergi menemui Junayd dengan ditemani oleh seorang pelayan. Ia lalu mendekati dan menjalankan apa-apa yang telah diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja, Junayd memandang budak wanita itu. Junayd tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita itu mengulangi ceritanya. Junayd menundukkan kepalanya, lalu ia mendongak.





“Ah,” serunya sambil menghembuskan napasnya ke arah budak wanita itu. Seketika budak wanita itu jatuh ke tanah dan mati.





Pelayan yang menemaninya kembali menemui Khalifah dan melaporkan apa yang telah terjadi. Jiwa sang Khalifah serasa terbakar dan ia bertobat atas yang telah ia lakukan.





Sang Khalifah berkata, “Ia, yang memperlakukan orang lain tidak sebagaimana mestinya, melihat apa yang harusnya tidak ia lihat.”





Sang Khalifah kemudian bangkit dan memerintah pembantunya untuk memanggil Junayd. “Sungguh seseorang yang tak dapat dipanggil untuk menghadap,” komentarnya.





Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh, bagaimana engkau tega membunuh seseorang yang begitu cantik?”





Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kasih sayangmu kepada orang-orang mukmin begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku yang ku isi dengan wara’ dan penyangkalan diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah melakukan apa yang engkau tidak sukai bagi dirimu sendiri!”





Setelah peristiwa itu, urusan-urusan Junayd berjalan dengan baik. Kemasyhurannya tersebar keseluruh penjuru dunia. Seberapapun seringnya ia disiksa, reputasinya meningkat seribu kali lipat.





Ia mulai berkhotbah. Suatu kali ia menjelaskan, “Aku tidak berkhotbah di muka umum sampai tiga puluh wali besar mengatakan padaku bahwa aku telah pantas untuk menyeru manusia kepada Allah.”





Ia berkata, “Selama empat puluh tahun aku duduk menjaga hatiku. Kemudian selama sepuluh tahun hatiku menjagaku. Kini telah genap duapuluh tahun dimana aku tidak mengetahui apa pun tentang hatiku dan hatiku pun tidak mengetahui apapun tentang aku.”





Ia melanjutkan, “Selama tiga puluh tahun, Allah berbicara kepada Junayd dengan lidah Junayd, Junayd tidak berada disana sama sekali, namun manusia tidak mengetahuinya.”





Junayd Berkhotbah





Saat lidah Junaid telah mahir mengutarakan kata-kata yang menakjubkan, Sarri as-Saqathi mengatakan kepadanya bahwa telah wajib, baginya untuk berkhotbah dimuka umum.





Awalnya Junaid merasa ragu, tidak ingin melakukan hal itu. “Saat ada sang guru, tak pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” kata Junaid mengutarakan keberatannya.





Sampai akhirnya pada suatu malam, Junayd bertemu dengan Nabi Saw. Dalam mimpinya. “Berkhotbahlah,” kata Nabi Saw.





Keesokan paginya pada suatu malam, Junaid pun bangkit dan hendak pergi menemui Sarri untuk menceritakan mimpinya. Namun, ketika hendak keluar, ia menemukan Sarri tengah berdiri didepan pintu.





Sarri berkata, “Sampai saat ini, engkau masih ragu-ragu, menunggu orang-orang lain memintamu untuk berkhotbah. Kini engakau harus bicara (berkhotbah di muka umum), karena kata-katamu telah dijadikan sarana bagi keselamatan seluruh dunia.”





Engkau tidak mau bicara saat para murid membujukmu untuk bicara. Engkau tidak mau bicara saat para syeikh kota Baghdad memintamu untuk bicara. Engkau juga tidak mau bicara kendati aku telah mendesakmu untuk bicara. Sekarang, Nabi Saw. Telah memerintahkanmu untuk bicara, maka engkau harus bicara.”





“Ya Allah, maafkanlah hamba,” tutur Junaid “Paman, bagaimana engkau tahu kalau aku bertemu dengan Nabi Saw dalam mimpiku?”





Sarri menjelaskan, “Aku bertemu dengan Allah dalam mimpiku. Dia berkata, ‘Aku telah mengutus Rasul-Ku untuk meminta Junayd berkhotbah di atas mimbar’.”





“Kalau begitu, aku akan berkhotbah,” kata Junaid kemudian. “Namun dengan satu syarat, yang hadir tidak lebih dari empat puluh orang.”





Suatu hari, Junayd berkhotbah di hadapan empatpuluh orang hadirin. Delapan belas orang di antaranya meninggal dunia dan duapuluh dua orang lainnya jatuh ketanah tak sadarkan diri. Mereka kemudian diangkat dan dibawa pulang ke rumah mereka masing-masing.





Dilain hari, Junayd berkhotbah. Diantara hadirin ada seorang pemuda Kristen, namun tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa pemuda itu beragama Nasrani.





Pemuda itu mendekati Junayd dan berkata, “Nabi bersabda, ‘berhati-hatilah terhadap pengetahuan orang yang beriman, kanena ia melihat dengan cahaya Tuhan’.”





Junayd menjawab, “Yang benar adalah engkau harus menjadi seorang Muslim dan memotong korset Nasranimu, kanena ini adalah acara khusus bagi Muslim.”





Seketika itu Pula pemuda tadi menjadi seorang Muslim.





Setelah Junayd berkhotbah beberapa kali, masyarakat menyuarakan penentangannya. Akhinnya Junayd pun berhenti berkhotbah dan kemudian kembali ke kamarnya. Ia didesak untuk terus berkhotbah namun ia menolak.





“Sudah cukup,” katanya. “Aku tidak dapat mengusahakan kehancuranku sendiri.”





Beberapa waktu kemudian, Junayd naik ke mimbar dan mulai berkhotbah tanpa pemberitahuan sebelumnya.





“Kebijaksanaan apa yang terdapat di dalam apa yang engkau perbuat ini?” ia ditanya.





Junayd menjawab, “Aku menemukan sebuah hadist di mana Nabi Saw. bersabda, ‘Pada akhir zaman, yang menjadi juru bicara suatu masyarakat adalah orang yang terburuk di antara mereka. Ia akan berkata pada mereka, Aku tahu bahwa aku adalah orang yang terburuk di antara kalian. Aku berkhotbah karena apa yang telah disabdakan oleh Nabi Saw. Dengan begitu, aku tidak menentang kata-kata beliau.”





Al-Jurairy mengabarkan, “Aku baru saja pulang dan Mekkah, dan hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi al-Junayd agar tidak mengangan-angan diriku. Aku Ialu memberi salam kepadanya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya ketika aku shalat subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada shaf di belakangku. Aku berkata, ‘Aku mendatangimu kemarin hanya supaya engkau tidak mengharap harap diriku.’ Ia menjawab, ‘Itulah keutamaanmu. Dan itulah hakmu’.”






E-currency exchangers rating

Manaqib Ibnu Atha’illah (Pengarang Kitab Al-Hikam)

E-currency exchangers rating
Affiliate Program Get Money from your Website


Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah.
Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H. Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya.

Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya. Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.
Affiliate Program Get Money from your Website
Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa: Masa pertama Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah.

Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Masa kedua Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini. Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan.

Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf. Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi. Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir.

Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”. Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin.

Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”. Masa ketiga Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia.

Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT. Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.

Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar. Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali.

Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”. Karya Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah. Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-ata’iyyah untuk membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.

Karomah Ibn Athoillah Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia.Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.

Wafat Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.

Saturday, May 6, 2017

Abul Abbas Al Mursyi (Tokoh Sufistik Thariqah syadziliyah)

E-currency exchangers rating




Nama dan Nasabnya :

Wali Qutb kita ini adalah al-Imam Syihabuddin Abu al-Abbas, Ahmad bin Umar al-Anshory, al-Mursi radiallahu 'anhu. sebagian ahli sejarah ada yang mengatakan bahwa nasab beliau sampai pada sahabat Sa'ad bin Ubadah radiallahu 'anhu pemimpin suku Khazraj. Al-Mursi dilahirkan tahun 616 H (1219 M) di kota Marsiyyah, salah satu kota di Andalus Spanyol.

Masa kanak-kanak al-Mursi

Al-Mursi melewatkan masa kecilnya yang penuh berkah di tanah kelahirannya itu. Lazimnya seorang alim dan pendidik, ayahnya mengirim al-Mursi kecil kepada salah satu waliyullah untuk membimbing menghapal Alquran dan mengajarinya ilmu-ilmu agama. Secepat kilat ia terlihat kehebatan dan kecerdasannya. Lebih dari itu ia yang masih sekecil itu telah memperoleh anugrah Allah berupa cahaya ilahi yang merasuk dalam kalbunya. Suatu ketika al-Mursi bercerita : "Ketika aku masih usia kanak-kanak aku mengaji pada seorang guru. Aku menorehkan coretan pada papan. Lalu guru tadi mengatakan :" seorang sufi tidak pantas menghitamkan yang putih". Seketika aku menjawab : "permasalahannya bukan seperti yang Tuan sangka. Tapi yang benar adalah seorang sufi tidak pantas menghitamkan putihnya lembaran hidup dengan noda dan dosa".

Al-Mursi kecil juga mengatakan: "ketika aku masih kanak-kanak, di sebelah rumahku ada tukang penguak rahasia (peramal) lalu aku mendekatinya. Besoknya aku datang ke guruku yang termasuk waliyullah. Maka guruku itu mengatakan padaku satu syair: "Wahai orang yang melihat peramal sembari terkesima. Dia sendiri sebetulnya peramal, kalau dia merasa.

Masa muda

Al-Mursi meneruskan hidupnya pada jalan cahaya ilahi sampai menginjak dewasa. Semakin hari semakin tambah ketakwaan dan keimanannya. Ayahnya melihatnya sebagai kebanggaan tersendiri. Maka dia dipercaya oleh ayahnya untuk mengelola perdagangannya bersama saudaranya Muhammad Jalaluddin. Dengan begitu, ia telah mengikuti jejak orang-orang saleh dalam hal menggabungkan antara ibadah dan mencari rizqi. Demi menjaga amanat ini ia rela berpindah-pindah tempat dari kota Marsiyah ke kota lainnya untuk berniaga, sambil hatinya berdetak mengingat Allah SWT.
Affiliate Program Get Money from your Website
Pada tahun 640 H kedua orang tuanya bersama seluruh keluarga berkeinginan menunaikan ibadah haji. Tapi sayang, takdir berbicara lain. Sesampainya di pesisir Barnih, kapal mereka terkena gelombang. Banyak penumpang kapal yang meningal termasuk kedua orang tuanya. Singkat cerita al-Mursi muda dan saudaranya melanjutkan perjalannya ke Tunis untuk berdagang, meneruskan usaha ayahya.

Pertemuan dengan al-Syadziliy

Al-Mursi menceritakan perjumpaannya dengan Syaikh Abu al-Hasan as-Syadzily sebagai berikut: "Ketika aku tiba di Tunis, waktu itu aku masih muda, aku mendengar akan kebesaran Syaikh Abu al-Hasan. Lalu ada seseorang yang mengajakku menghadap beliau. Maka aku jawab : "aku mau beristikharah dulu"! Setelah itu aku tertidur dan bermimpi melihat seorang lelaki yang mengenakan jubah (Burnus) hijau sambil duduk bersila. Di samping kanannya ada seorang laki-laki begitu juga di samping kirinya. Aku memandangi lelaki nan berwibawa itu. sejurus kemudian lelaki itu berkata : "aku telah menemukan penggantiku sekarang"! Di saat itulah aku terbangun.

Selesai menunaikan sholat subuh, seseorang yang mengajakku mengunjungi Syaikh Abu al-Hasan datang lagi. Maka kami berdua pergi ke kediaman Syaikh Abu al-Hasan as-Syadzili. Aku heran begitu melihatnya. Syekh yang ada di hadapanku inilah yang aku lihat dalam mimpi. Dan keherananku semakin menjadi ketika Syekh Abul Hasan berkata padaku: "Telah aku temukan penggantiku sekarang". Persis seperti dalam mimpiku. Selanjutnya beliau bilang : "siapa namamu ?" Lalu aku sebutkan namaku. Dengan tenang dan penuh kewibawaan beliau berujar : "Engkau telah ditunjukkan padaku semenjak 20 tahun yang lalu!".

Semenjak kejadian itu al-Mursi terus mendapatkan wejangan-wejangan dari gurunya Syaikh Abu al-Hasan ini. Mereka berdua membangun pondok (Zawiyyah) Zaghwan di daerah Tunis, di mana as-Syadzili menyebarkan ilmu kepada murid-murid-muridnya yang beraneka ragam latar belakang dan profesinya. Ada dari kalangan ulama', pedagang juga orang awam.

Syaikh al-Syadzili sebetulnya sudah lama meninggalkan Tunis. Ia pergi ke Iskandariyah kemudian ke Mekkah. Kembalinya ke Tunis lagi ini membuat orang bertanya-tanya. Dalam hal ini dia menjawab : "Yang membuatku kembali lagi ke Tunis tidak lain adalah laki-laki muda ini (maksudnya Abul 'Abbas al-Mursi)". Setelah itu Al-Syadzily kembali lagi ke Iskandariah, karena ada perintah dari Nabi Muhammad SAW dalam mimpinya.

Ada cerita dari al-Mursi tentang perjalanan ke Iskandariah ini : "Ketika aku menemani Syaikh dalam perjalanan menuju ke Iskandariah, aku merasa sangat susah sehingga aku tidak mampu menanggungnya. Lalu aku menghadap Syaikh. Ketika beliau melihat penderitaanku ini, beliau berkata: "Hai Ahmad...!", aku menjawab: "Iya tuanku", Beliau berkata: "Allah telah menciptakan Adam alaihis salam dengan tangan-Nya, dan memerintahkan malaikat-Nya untuk bersujud padanya. Allah kemudian menempatkannya di dalam surga, lalu menurunkannya ke bumi,. Demi Allah... Allah tidak menurunkannya ke bumi untuk mengurangi derajatnya, tapi justru untuk menyempurnakannya. Allah telah menggariskan penurunannya ke bumi sebelum Dia menciptakannya, sebagaimana firmannya "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".. (QS. 2:30). Allah tidak mengatakan di langit atau di surga. Maka turunnya Adam ke bumi adalah untuk memuliakannya bukan untuk merendahkannya, karena Adam menyembah Allah di surga dengan di beri tahu (Ta'rif) lalu diturunkan ke bumi supaya beribadah pada Allah dengan kewajiban (Taklif), ketika dia telah mendapatkan kedua ibadah tadi, maka pantaslah dia menyandang gelar pengganti (Khalifah). Engkau ini juga punya kemiripan dengan Adam. Mula-mula kamu ada di langit ruh, di surga pemberitahuan (Ta'rif) lalu engkau diturunkan ke bumi nafsu supaya engkau menyembah dengan kewajiban (Taklif). Ketika engkau telah sempurna dalam kedua ibadah itu pantaslah engkau menyandang gelar pengganti (Khalifah)".

Begitulah Syaikh Al-Syadzili mengantarkan Al-Mursi menuju ke jalan Allah demi memenuhi hatinya dengan rahasia-rahasia ilahiyah supaya kelak bisa menggantikannya, bahkan bisa dikatakan supaya dia jadi Abu al-Hasan itu sendiri. Sebagaimana Al-Syadzili sendiri pernah mengatakan : "Wahai Abu al-Abbas... demi Allah., aku tidak mengangkatmu sebagai teman kecuali supaya kamu itu adalah saya, dan saya adalah kamu. Wahai Abu al-Abbas.. demi Allah, apa yang ada dalam diri para wali itu ada dalam dirimu, tapi yang ada pada dirimu itu tidak ada dalam diri para wali lainnya".

Persatuan antara keduanya ini di jelaskan oleh Ibn Atho'illah al-Askandari: "Suatu ketika Syaikh al-Syadzili ada di rumah Zaki al-Sarroj, sedang mengajar kitab al-Mawaqif karangan al-Nafari, lalu beliau bertanya: "Kemana Abu al-Abbas?" Ketika Syaikh al-Mursi datang, beliau berkata: "Wahai anakku... bicaralah! Semoga Allah memberkahimu... bicaralah ! jangan diam", maka Syaikh Abu al-Abbas mengatakan: "Lalu aku di beri lidah Syaikh mulai saat itu".

Pada banyak kesempatan Syaikh al-Syadzili memuji ketinggian kedudukan Syaikh al-Mursi, beliau mengatakan: "Inilah Abu al-Abbas, semenjak dia sampai pada ma'rifatullah tidak ada halangan antara dirinya dan Allah SWT. Kalau saja dia meminta untuk ditutupi, pasti permintaan itu tidak akan dikabulkan.

Ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Syaikh Zakiyyuddin al-Aswani, Syaikh al-Syadzili bekata: "Wahai Zaki... berpeganglah pada Abu al-Abbas, karena demi Allah, semua wali telah ditunjukkan oleh Allah akan diri Abu al-Abbas ini. Hai Zaki... Abu al-Abbas itu seorang laki-laki yang sempurna".

Hal yang sama juga terjadi ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Nadli bin Sulton. Syaikh al-Syadzily mengatakan: "Wahai Nadli... tetaplah bersopan santun pada Abu al-Abbas! Demi Allah, dia itu lebih tahu lorong-lorong langit, dibanding pengetahuanmu akan lorong-lorong kota Iskandariah"! As-Syadzili juga mengatakan: "Kalau aku mati, maka ambillah al-Mursi, karena dia adalah penggantiku, dia akan mempunyai kedudukan tinggi di hadapan kalian, dan dia adalah salah satu pintu Allah".

Ilmu al-Mursi

Imam Sya'roni menceritakan bahwa suatu ketika ada seseorang yang mengingkari keilmuan Syaikh al-Mursi. Orang tersebut mengatakan: "berbicara tentang ilmu yang ada itu hanya ilmu lahir, tetapi mereka, orang-orang sufi itu mengaku mengetahui hal-hal yang diingkari oleh syara'". Di kesempatan yang lain orang ini menghadiri majlis Syaikh al-Mursi. Tiba-tiba dia jadi bingung hilang kepintarannya. Seketika itu juga ia tidak mengingkari adanya ilmu batin. Dengan sadar dan penuh sesal ia berkata : "Laki-laki ini sungguh telah mengambil lautan ilmu Tuhan dari tangan Tuhan". Akhirnya dia menjadi salah satu murid dekat al-Mursi. Abu al-Abbas mengatakan : "Kami orang-orang sufi mengkaji dan mendalami bersama ulama' fiqih bidang spesialisai mereka, tapi mereka tidak pernah masuk dalam bidang spesialis kami".

Rupanya kealiman al-Mursi tidak terbatas pada ilmu fiqh dan tasawuf. Ibnu Atho'illah menceritakan dari Syaikh Najmuddin al-Asfahani : "Syaikh Abu al-Abbas berkata padaku: "Apa namanya ini dan itu dalam bahasa asing?" Tersirat dalam hatiku bahwa Syaikh ingin mengetahui bahasa ajam maka aku ambilkan kamus terjemah. Beliau bertanya: " Kitab apa ini?", Aku jawab : "Ini kitab kamusnya". Lalu Syaikh tersenyum dan berkata: " Tanyakan padaku apa saja, terseserah kamu, nanti aku jawab dengan bahasa arab, atau sebaliknya". Lalu aku bertanya dengan bahasa asing dan beliau menjawab dengan memakai bahasa Arab. Kemudian aku bertanya dengan bahasa Arab, beliau menjawab dengan bahasa asing. Beliau berkata: " Wahai Abdullah... ketika aku bertanya seperti itu tidak lain adalah sekedar basa-basi bukan bertanya sesungguhnya. Bagi wali tidak ada yang sulit, bahasa apapun itu.

Dalam penafsiran ayat "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan. "(QS. 1:5), al-Mursi menafsiri sebagai berikut, "Hanya Engkaulah yang kami sembah maksudnya adalah Syariah, dan hanya kepada-Mulah kami memohon adalah Haqiqoh. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Islam, dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan adalah Ihsan. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Ibadah, dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan adalah Ubudiyyah. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Farq, dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan adalah Jam'.

Karomah Kedekatannya dengan Yang Maha Kuasa menyebabkan ia banyak mempunyai karomah, di antaranya:
• Al-Mursi telah mengabarkan siapa penggantinya setelah ia meninggal. Orang itu adalah Syaikh Yaqut al-Arsyi yang lahir di negeri Habasyah. Suatu ketika ia meminta murid-muridnya agar membuat A'sidah (sejenis makanan). Iskandariah pada saat itu tengah musim panas. Karena heran ada seseorang yang bertanya : "Bukankah A'sidah itu untuk musim dingin ?". Dengan tenang al-Mursi menjawab : " A'sidah ini untuk saudara kalian Yaqut orang Habasyah. Dia akan datang kesini ".
• Ada seseorang yang datang menghadap al-Mursi dengan membawa makanan syubhah (tidak jelas halal-haramnya) untuk mengujinya. Begitu melihat makanan itu al-Mursi langsung mengembalikannya pada orang tersebut sambil berkata: "Kalau al-Muhasibi hendak mengambil makanan syubhah otot tangannya bergetar, maka 60 otot tanganku akan bergetar" .

• Pada suatu masa perang, penduduk Iskandariah semua mengangkat senjata untuk berjaga-jaga menghadapi serangan musuh. Demi melihat hal ini, Syaikh al-Mursi mengatakan: " Selama aku ada ditengah-tengah kalian, maka musuh tidak akan masuk". Dan memang musuh tidak masuk ke Iskandariah sampai Abu-al Abbas al-Mursi meninggal dunia

SYEKH ABDUS SALAM AL MASYISY ( TOKOH SUFISTIK )



Syeikh Ibnu Masyisy Abdussalam bin Masyisy bin Malik bin Ali bin Harmalah bin Salam bin Mizwar bin Haidarah bin Muhammad bin Idris al-Akbar bin Abdullah al-Kamil bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sabth bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra putri Rasulullah saw. Syeikh Ibnu Masyisy lahir pada tahun 559 H bertepatan dengan 1198 M.
Kehidupan Intelektual Ibnu Masyisy.
Ibnu Masyisy belajar membaca, menulis dan menghafal al-Qur’an di Kuttab (tempat yang digunakan untuk mengajarkan anak-anak kecil membaca, menulis dan menghafal al-Qur’an) dan dia telah hafal al-Qur’an sejak berumur kurang dari 12 tahun kemudian pergi menuntut ilmu. Ibnu Masyisy bekerja di lahan pertanian seperti penduduk kampung lainnya dan tidak bergantung kepada orang lain dalam mengatur urusan kehidupannya. Dia menikahi anak perempuan pamannya (pamannya bernama Yunus), dari pernikahannya ini dikarunia empat orang anak laki-laki: Muhammad, Ahmad, Ali, Abdus Shamad dan satu orang anak perempuan: Fatimah.
Syeikh Ibnu Masyisy mumpuni dalam bidang ilmu juga memiliki kezuhudan yang tinggi, Allah swt menyatukan dalam dirinya dua kemulian, dunia dan Agama, serta menjaga keutamaan keyakinan yang haqiqi. Dan Ibnu Masyisy mendapatkan keberhasilan atas kesungguhan kemauan dan cita-citanya, seorang yang tidak pernah menyimpang dari jalan syari’at sehelai rambut pun, berpegang teguh pada Agama dan menyampaikan keutamaan-keutamaannya

Guru-gurunya
Syeikh Ibnu Masyisy memiliki kesungguhan dan kemauan yang keras dalam menuntut ilmu serta menjaga awrad (baca’an-bacaan zikir dan do’a) sehingga dia sampai kepada jalan menuju makrifah kepada Allah swt, maka Ibnu Masyisy mumpuni dalam bidang ilmu juga mendapatkan puncak kezuhudan. Di antara guru-gurunya dalam bidang ilmu pengetahuan adalah Syeikh Ahmad yang di juluki (aqtharaan), dimakamkan di daerah Abraj dekat pintu Tazah. Di antara para gurunya dalam bidang tasawwuf (at-tarbiyah wa as-suluuk) Syeikh Abdurrahman bin Hasan al-’Aththar yang terkenal dengan az-Ziyyaat, dari beliau Ibnu Masyisy belajar tentang ilmu mua’amalah dengan masyarakat yang sumbernya berakhlak sesuai dengan akhlak Rasulullah saw, sehingga dari ilmu tersebut Ibnu Masyisy mendapatkan yang lebih banyak.
Peninggalan-peninggalan Syeikh Abdussalam bin Masyisy.
Barangkali, penyebab tidak terlalu banyak warisan peningalan Abdussalam bin Masyisy, meskipun kedududakannya tinggi yang nampak pada muridnya Abu al-Hasan as-Syaziliy, adalah sangat ketertutupan beliau dan tidak ingin di kenal oleh manusia, di antara do’anya “Ya Allah aku mohon kepada-Mu agar makhluk berpaling dariku sehingga tidak ada tempat kembali bagiku selain kepada-Mu“. Allah swt mengabulkan permohonan Syeikh Ibnu Masyisy tersebut dan karena sangat ketertutupannya itu sampai tidak ada yang mengenal beliau kecuali Syeikh Abu al-Hasan as-Syaziliy yang sebuah thariqah dinisbahkan kepadanya. Adapun beberapa peninggalan ilmiyah Syeikh Ibnu Masyisy yang sampai kepada kita melalui muridnya Syeikh Abu al-Hasan as-Syaziliy adalah sekumpulan nasehat yang mengagumkan dengan ungkapan yang bersih, jernih selaras dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, di antaranya adalah:
“Syeikh Abu al-Hasan as-Syaziliy berkata: “Guruku mewasiatkan kepadaku dan dia berkata: ” Jangan kamu langkahkan kedua kakimu kecuali kamu hanya mengharap balasan dari Allah swt, janganlah kamu duduk kecuali kamu merasa aman dari maksiat kepada Allah swt dan jangan kamu berteman kecuali dia dapat menolongmu untuk ta’at kepada Allah swt“.
Dan Ibnu Masyisy berkata secara langsung kepada Abu al-Hasan as-Syaziliy: Senantiasalah kamu suci dari rasa ragu dan dari kotoran dunia, ketika kamu dalam keadaan kotor maka bersucilah, ketika kamu mulai cenderung kepada syahwat dunia maka perbaikilah dengan bertaubat, jangan sampai kamu dirusak dan ditipu hawa nafsu, maka dari itu senantiasalah kamu merasa dekat kepada Allah dengan penuh ketundukan dan ketulusan hati.
Salah satu teks penting yang sampai kepada kita dari Syeikh Abdussalam bin Masyisy adalah teks “shalawat Masyisyiah”, yaitu sebuah teks shalawat yang unik jika kata-katanya itu berbaur atau di ucapkan oleh ruh maka akan membuat pemilik ruh tersebut terasa melayang di udara dari keluhuran dan keindahan alam malakut. Dan teks tersebut merupakan titik perhatian para penyarah.
Adapun teks do’a shalawat Masyisyiyah dari Syech Abdus Salam ibnu Masyisy tersebut adalah :
Allahumma shalli ‘alaa man minhun syaqqatil asraar
Wan falaqatil anwaar
wa fiihir taqatil haqaaiq
Wa tanazallat ‘uluumu sayyidinaa aadama ‘alayhis salaamu fa a’jazal khalaaiq
Wa lahu tadhaa alatil fuhuumu falam yudrik-hu minnaa saabiqu wa laa laahiq
Fari yaa dhul malakuuti bizahri jamaalihi muuniqah
wa hiyaadhul jabaruuti bifaydhi anwaarihi mutadafiqah
Wa laa syay-a illa wa huwa bihi manuuth
Idz lawla waa sithatu ladza haba kamaa qiilal mawsuuth
Shalaatan taliiqu bika minka ilayhi kamaa huwa ahluh
Allahumma inaahu sirrukal jaami’ud dallu ‘alayk
Wa hijaabuka a’zhamu’l qaa-imulaka bayna yadayk
Allahumma alhiqnii binasabih
wa haqqiqnii bi hasabih
Wa ‘arrifnii iyyahu ma’rifatan aslamu bihaa min mawaaridil jahl
Wa akra’u bihaa min mawaaridil fadhl
Wahmilnii ‘alaa sabiilihi ilaa hadhratik
Hamlan mahfuufan binushratika
waqdzif bii ‘alal baathili fa-admighah
wa zujjabii fii bihaari’ ahadiyyah
wansyulnii min awhaalit-tawhiid
wa aghriqnii fii ‘ayni bahril wahdah
hatta laa araa wa laa asma’a wa laa ajida wa laa uhissa ilaa bihaa
waj’allahummal hijaaba a’zhama hayaata ruuhii
wa ruuhahu sirra haqiiqatii
wa haqiiqatahu jaami’a ‘awaalimi bitahqiiqil haqqi awwal
yaa awwalu yaa aakhiru yaa zhaahiru yaa baathin
isma’ nida-ii bimaa sami’ta bihi nidaa-a ‘abdika sayyidinaa Zakariyya ‘alayhis salaam
wan shurnii bika laka
wa ayyidnii bika laka
wajma’ baynii wa baynaka
wa hul bayni wabayna ghayrika
Allah Allah Allah
Innal-ladzii faradha ‘alaykal qur’aan laradduka ilaa ma’aad
Rabbanaa aatinaa min ladunka rahmah
Wa hayyi’lanaa min amrinaa rasyadaa (3 kali)
Innallaaha wa malaaikatahu yushalluna ‘alan-nabiyy
Yaa ayyuhal ladziina amanuu shallu ‘alayhi wa sallimuu tasliima
Wa shallallaahu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Subhaana rabbika rabbil ‘izzati ‘ammaa yashifuun wa salaamu ‘alal mursaliin wal hamdulillaahi rabbil ‘aalamiin

Wafatnya:
Barangkali sebab Ibnu Masyisy keluar dari khalwahnya menentang Ibnu Abi ath-Thawaajin al-Kattamiy yang mengaku nabi, beliau telah mempengaruhi sebagian orang pada masa nya, dan melakukan perlawanan atas dia dan para pengikutnya dengan logika dan dalil-dalil syar’i baik ucapan dan perbuatan dengan serangan atau perlawanan yang keras, mereka memotivasi untuk melakukan tipu daya dan persekutuan untuk membunuhnya, maka ia mengutus sebuah kelompok kepada Syeikh itu untuk menjebak beliau sehingga beliau turun dari kholwahnya untuk berwudhu dan shalat subuh dan disanalah mereka membunuhnya pada tahun 622 H, semoga Allah merahmati dengan rahmat yang luas, dan mengumpulkan kami bersama dengan beliau ditempat yang di senangi disisi tuhan yang berkuasa. Washallallahu ala Sayyidina Muhammad wa ala alihi wasahbihi wa sallam taslimaa.

BIOGRAPHY SYEKH ABI HASAN ASY SYADZILY (TOKOH SUFISTIK)

Affiliate Program Get Money from your Website

Asy Syekh al Imam al Quthub al Ghouts Sayyidina Asy Syarif Abul Hasan Ali asy Syadzily al Hasani bin Abdullah bin Abdul Jabbar, terlahir dari rahim sang ibu di sebuah desa bernama Ghomaroh, tidak jauh dari kota Saptah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara bagian ujung paling barat, pada tahun 593 H / 1197 M. Beliau merupakan dzurriyat atau keturunan ke dua puluh dua dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, dengan urut-urutan sebagai berikut, asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily adalah putra dari :

1. Abdullah, bin


2. Abdul Jabbar, bin
3. Tamim, bin
4. Hurmuz, bin
5. Khotim, bin
6. Qushoyyi, bin
7. Yusuf, bin
8. Yusa’, bin
9. Wardi, bin
10. Abu Baththal, bin
11. Ali, bin
12. Ahmad, bin
13. Muhammad, bin
14. ‘Isa, bin
15. Idris al Mutsanna, bin
16. Umar, bin
17. Idris, bin
18. Abdullah, bin
19. Hasan al Mutsanna, bin
20. Sayyidina Hasan, bin
21. Sayyidina Ali bin Abu Thalib wa Sayyidatina Fathimah az Zahro’ binti
22. Sayyidina wa habibina wa syafi’ina Muhammadin, rosulillaahi shollolloohu ‘alaihi wa aalihi sallam.

Sejak kecil Beliau biasa dipanggil dengan nama: ‘ALI, sudah dikenal sebagai orang yang memiliki akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, Beliau juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, Beliau mendapat tempaan pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah bimbingan ayah-bunda beliau. Beliau tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul ‘ilmi di samping untuk menggapai cita-cita luhur Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah SWT.
Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Di suatu hari Jumat, Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyullah Khidlir ‘alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu adalah diutus untuk menyampaikan keputusan Allah SWT atas diri Beliau yang pada hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul ‘Alamin dan sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur dan akhlaq mulia.
Segera setelah pertemuan dengan Nabiyyullah Khidir a.s. tersebut, Beliau segera menghadap Syekh Abi Said al Baji, rokhimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan maksud untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang hari itu. Akan tetapi pada saat sudah berada di hadapan Syekh Abi Said, sebelum Beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada hari itu. Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al Qur’an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat. Selain itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut ilmu, Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan hati untuk segera menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah SWT ? Maka dengan tekad yang kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.



Perantauan Mencari Sang Quthub
Tempat pertama yang dituju oleh Beliau adalah kota Mekkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu seat Beliau memperoleh keterangan dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang Beliau cari itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari kota Mekkah.
Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah Beliau bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang Beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh yang berhasil Beliau temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.
Memang sepeninggal Sulthonil Auliya’il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Abdul Qodir al Jilani, rodliyallahu ‘anh, kedudukan Wali Quthub yang menggantikan Syekh Abdul Qodir Jilani oleh Allah disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu kedatangan Syekh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 – 561 H./1077 – 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih waktu antara wafatnya Syekh Abdul Qodir dan lahirnya Syekh Abil Hasan terpaut sekitar 32 tahun). Di kala hidupnya, asy Syekh. Abdul Qodir diakui oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang berkedudukan “Quthbul Ghouts”.
Akhirnya, Beliau mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah thoriqot Rifa’iyah yaitu asy Syekh ash Sholih Abul Fatah al Wasithi, rodliyAllahu ‘anh. Syekh Abul Fatah adalah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu. Segeralah Beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah dan mengemukakan bahwa Beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau minta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani Beliau menuju ke hadirat Allah SWT.
Mendengar penuturan beliau, asy Syekh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan, “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh sampai ke sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat ini sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang engkau cari di sana!”



Berguru Kepada Sang Quthub
Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari Syekh Abul Fatah al Wasithi, Beliau segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di Maroko, Beliau langsung menuju ke desa Ghomaroh, tempat di mana Beliau dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, Beliau segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang Beliau temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub. Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi, segera saja Beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.
Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua. Sebelum Beliau melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, Beliau berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya Beliau lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini Beliau lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kcmuliaan dan keagungan di sisi Robbul ‘alamin, disamping juga sebagai seorang calon guru Beliau. Begitu setelah selesai mandi, Beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal Beliau seakan luruh berguguran. Dan seketika itu pula Beliau merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal. Kemudian, setelah itu Beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu’ dan rendah diri, Beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu.
Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati Beliau seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”. Beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa ‘alaikumus salam wa rokhmatullohi wa barokatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan beliau, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab Beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rosululloh, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Mendengar itu semua, Beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat.” Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah Beliau kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodhiyAllahu ‘anh, orang yang selama ini dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan kita pada hari ini.” Berkata Syekh Abdus Salam lagi, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang diri¬mu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari Beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.
Selanjutnya, Beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan dari Syekh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan nasihat-nasihat yang asy Syekh berikan kepada beliau.
Pada suatu hari dikatakan oleh asy Syekh kepada beliau, “Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci dari ‘kenajisan cinta dunia’. Dan setiap kali engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan dirimu.”
Berkata asy Syekh Ibn Masyisy kepada beliau, “Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan mendapatkan Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya.”
Di lain waktu guru beliau, rodhiyallahu ‘anh, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat : KECINTAAN demi untuk Allah; RIDHO atas ketentuan Allah; ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL atas Allah.
Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardhu-fardhu Allah; MENJAUHI larangan-laranganAllah; BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan
WARO’ menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”.
Asy Syeih juga pernah berpesan kepada. beliau, “Wahai anakku, janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Allah, sesuatu yang dapat mendatangkan keridhoan Allah, dan jangan pula engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Allah”.
Asy Syekh Abdus Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allah dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil Hasan adalah muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh Abul Hasan.
Tetapi, dari semua yang Beliau terima dari asy Syekh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan Beliau di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai’at sebuah thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam yang rantai silsilah thoriqot tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allah SWT. Silsilah thoriqot ini urut-urutannya adalah sebagai berikut :
Beliau, asy Syekh al Imam Abil Hasan Ali asy Syadzily menerima bai’at thoriqot dari :
1. Asy Syekh al Quthub asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai’at dari
2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari
3. Quthbil auliya’ Taqiyyuddin al Fuqoyr ash Shufy, dari
4. Sayyidisy Syekh al Quthub Fakhruddin, dari
5. Sayyidisy Syekh al Quthub NuruddinAbil HasanAli, dari
6. Sayyidisy Syekh Muhammad Tajuddin, dari
7. Sayyidisy Syekh Muhammad Syamsuddin, dari
8. Sayyidisy Syekh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari
9. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari
10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari
11. Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Said, dari
12. Sayyidisy Syekh Sa’ad, dari
13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su’udi, dari
14. Sayyidisy Syekh al Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari
15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari
16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin Ali, dari
17. Sayyidina’Ali bin Abi Tholib, karromallahu wajhah, dari
18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dari
19. Sayyidina Jibril, ‘alaihis salam, dari
20. Robbul ‘izzati robbul ‘alamin.

Setelah menerima ajaran dan baiat thoriqot ini, dari hari ke hari Beliau merasakan semakin terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma’rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, rodhiyAllahu ‘anh.
Thoriqot ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu Beliau kelak bermukim di negeri Tunisia dan Mesir, Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana, maka Beliau pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot ini yang pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan “THORIQOT SYADZILIYAH”. Banyak para ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini. Sebuah thoriqot yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.
Setelah cukup lama Beliau tinggal bersama asy Syekh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercinta Beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan dengan mengatakan, “Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini engkau untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, di sana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, asy Syadzily.”
“Setelah itu,” lanjut asy Syekh, “Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah kelak engkau akan menerima warisan al Quthubah dan menj adikan engkau seorang Quthub.”
Pada waktu akan berpisah, Beliau mengajukan satu permohonan kepada asy Syekh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku.” Asy Syekh pun kemudian berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”
Lanjut asy Syekh lagi, “Jangan engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah waro’mu.” “Dan berdoalah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa.”‘
Selanjutnya, setelah perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy yang dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri kelahirannya itu sampai akhir hayat beliau. Sang Quthub nan agung ini meninggal dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam Beliau sampai saat ini ramai diziarahi kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.
Di Syadzilah
Seusai berpisah dengan asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau mulai menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah. Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat Beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Sya¬dzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah kenya¬taan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.
Beliau tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, Beliau telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. Beliau ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuknya orang-orang. Memang, tujuan Beliau datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan ibadah Beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.
Akhirnya, Beliau memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah Beliau ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat Beliau bernama Abu Muhammad Abdullah bin Salamah al Habibie. Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).
Di bukit itu, Beliau melakukan laiihan-latihan ruhani dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, Beliau gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh, mujahadah dan menjalankan wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Di bukit itu, Beliau melakukan uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Untuk kehidupannya, Beliau bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak Beliau bermukim di bukit itu, Allah SWT telah mengaruniakan sebuah mata air untuk meme¬nuhi keperluan beliau.
Pernah, pada suatu hari, Beliau menyaksikan gusi al Habibie terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan. Segera saja, setelah itu, Beliau mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Dan sekiranya telah tercukupi, maka Beliau berdua segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan”. Memang, semenjak beruzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.
Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al Habibie, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, ‘alaihimus sholatu was salam, mengerumuni asy Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, “Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku.” Tidak jarang pula dilihat oleh al Habibie arwah para waliyulloh yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti asy Syekh. Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan oleh al Habibie, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan asy Syekh.
Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan nama beliau, diceritakan oleh beliau, bahwa Beliau pada suatu ketika dalam fana’nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah SWT, “Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku ?” Maka, dikatakan kepadaku, “Ya Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan nama asy Syadzily, tetapi asy Syaadz-ly (penekanan kata pada “dz”) yang artinya jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat demi untuk¬Ku dan demi cinta kepada-Ku.”
Beliau tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, Beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.
Diceritakan oleh beliau, begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, ‘Hai Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari padamu !’ Lalu, akupun mengatakan, ‘Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka’. Lalu dikatakan kepadaku, ‘Turunlah, wahai Ali ! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan engkau dari marabahaya’. Aku katakan pula, ‘Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai ?’ Maka, dikatakan kepadaku, ‘Hendaklah engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib.”‘
Setelah selesai menjalani seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam dan setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka Beliau segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.

Di Tunis
Bagi beliau, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena sejak usia anak-anak hingga remaja Beliau bemukim di kota ini sampai bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang Beliau saksikan pada saat kedatangan Beliau kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seperti dulu. Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan. Namun demikian, sejak kedatangannya, Beliau juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Alkisah, dalam usaha Beliau memberikan pertolongan kepada mereka, Beliau sering didatangi nabiyulloh Khidlir, ‘alaihissalam, guna membantu Beliau sekaligus untuk menyelamatkan Beliau dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunan beliau.
Pada saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya al Hafsi. Dalam pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para menterinya ada seorang kadi (hakim agama) yang bernama Ibnul Baro’. Dia adalah seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang buruk. Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnul Baro’. Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya.
Asy Syekh Abil Hasan datang ke Tunis selain untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh guru beliau, juga karena memang mendapat perintah untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan Beliau melakukan dakwah di kota Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun mendatangi beliau. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang alim, sholih dan ahli karomah yang turut serta mendengarkan dan menyimak nasehat-nasehat beliau. Di antara mereka tampak, antara lain: asy Syekh Abul Hasan Ali bin Makhluf asy Syadzily, Abu Abdullah ash Shobuni, Abu Muhammad Abdul Aziz az Zaituni, Abu Abdullah al Bajja’i al Khayyath, dan Abu Abdullah al Jarihi. Mereka semua merasakan kesejukan siraman rohani yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan lisan nan suci asy Syekh. Padahal, pada waktu itu Beliau masih berumur sekitar 25 tahun.
Fenomena tersebut ditangkap oleh Ibnul Baro’ sebagai sebuah pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan asy Syekh di kota Tunis ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya. Setiap berita yang berkaitan dengan asy Syekh ditangkap oleh telinga Ibnul Baro’ lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam.
Demi melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni asy Syekh, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnul Baro’. Timbul prasangka buruk bahwa Syekh Abil Hasan telah merampas haknya, bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu. Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnul Baro’ mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah memaklumkan “perang” melawan asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily, rodhiyallahu ‘anh.
Namun demikian meski bertahun-tahun mengalami serangan dan fitnahan dari orang yang dengki kepada Beliau, tetapi yang namanya intan adalah tetap intan. Beliau adalah seorang kekasih Allah yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi. Dan apabila seorang kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan membalasnya. Itulah yang terjadi, sehingga akhirnya seluruh negeri mengetahui kemulian asy Syekh Abil Hasan Syadzily, rodhiyallahu ‘anh.
Setelah itu, terbetik dalam hati asy Syekh untuk kembali menunaikan ibadah haji. Beliau lalu menyerukan kepada para murid dan pengikutnya agar mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke negeri sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu masih kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah Beliau dengan para pengikutnya untuk melakukan perj alanan jauh menuju ke negeri Mesir.
Dalam perjalan ke Mesir tersebut masih tidak lepas dari rekayasa fitnah Ibnul Baro’ sehingga Sultan mempermasalahkan kehadiran Beliau di negeri Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan perlindungan-Nya, menujukkan bahwa asy Syekh adalah kekasihnya dan dengan kebesaran hati dan kehalusan budi pekerti beliaulah, akhirnya Beliau bersedia memaafkan dan mendoakan Sultan hingga mereka semua menganggap pertemuan mereka dengan asy Syekh adalah merupakan anugerah Tuhan yang tiada terkira bagi mereka.
Namun, sebagaimana yang telah direncanakan, asy Syekh tinggal di Mesir hanya untuk beberapa bulan saja, sampai datangnya waktu musim haji. Setelah tiba pada saatnya asy Syekh pun mohon diri kepada Sultan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah suci Mekkah. Ringkas cerita, di sana Beliau mengerjakan ibadah haji sampai secukupnya, lalu Beliau melanjutkan perjalanan ke tanah suci Madinah guna untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW. Setelah semuanya itu selesai, maka kembalilah Beliau beserta rombongan ke negeri Tunisia.
Sewaktu asy Syekh kembali dari tanah suci, Sultan Abu Zakariyya al Hafsi beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut kedatangan beliau. Rasa gembira sulit mereka sembunyikan, karena asy Syekh yang mereka cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama mereka lagi. Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnul Baro’. Bagi dia, kembalinya asy Syekh berarti merupakan sebuah “malapetaka” dan pertanda dimulainya lagi sebuah “pertempuran”. Tetap seperti dulu. Dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar asy Syekh, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun, alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan.
Kemudian, setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, asy Syekh lalu melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok pesulukan, sebagai bengkel rohani yang Beliau dirikan juga kian diminati para ‘pejalan’. Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama yang asy Syekh dirikan di Tunisia adalah pads tahun 625 H./1228 M., ketika Beliau berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin banyak orang-orang yang mendatangi beliau, baik penduduk setempat maupun orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.
Di antara murid-murid asy Syekh yang datang dari luar negeri Tunisia; terdapat seorang pemuda yang berasal dari daerah Marsiyah, negeri Marokko, tidak jauh dari daerah tempat kelahiran asy Syekh sendiri, yang bernama Abul Abbas al Marsi. Pertemuan asy Syekh dengan pemuda ini tampak benar-benar merupakan sebuah pertemuan yang amat istimewa, sampai-sampai pada suatu hari asy Syekh berkata, “Aku tentu tidak akan ditakdirkan kembali ke negeri Tunisia, kecuali karena pemuda ini. Dialah yang akan menjadi pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi khalifah penggantiku.” Menurut sebuah catatan, pemuda al Marsi (al Mursi) ini ketika masih berada di Maroko, pernah pula, walaupun tidak terlalu lama, berguru secara langsung kepada asy Syekh Abdus Salam sampai meninggalnya Beliau tahun 622 H./ 1225 M.
Kembalinya asy Syekh ke Tunis dari perjalanan hajinya kali ini hanyalah semata-mata untuk melanjutkan tugas mengajar dan berdakwah, seperti yang telah diperintahkan pada saat Beliau di gunung Barbathoh dan di bukit Zaghwan. Semuanya itu Beliau jalani sambil menanti datangnya “perintah” selanjutnya untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy. Pada saat pemetaan, guru Beliau itu mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu setelah “dihajar” oleh penguasa negeri itu, maka Beliau kemudian harus melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.
Dalam hari-hari penantiannya itu, pada suatu malam asy Syekh bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Waktu itu, Rasulullah berkata, “Ya Ali, sudah saatnya kini engkau meninggalkan negeri ini. Sekarang pergilah engkau ke negeri Mesir.” Kemudian Rosululloh melanjutkan, “Dan ketahuilah, wahai Ali, selama dalam perjalananmu menuju ke Mesir, Allah akan menganugerahkan kepadamu tujuh puluh macam karomah. Selain itu, di sana pula kelak engkau akan mendidik empat puluh orang dari golongan shiddiqin.”
Jadi, apabila dicermati, ketika turunnya asy Syekh dari puncak gunung di padang Barbathoh, Maroko, yang merupakan ‘langkah pertama’, adalah karena atas perintah guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Kemudian, pada waktu turunnya Beliau dari bukit Zaghwan di Syadzilah, sebagai ‘langkah ke dua’, adalah karena perintah Allah SWT. Sedangkan, pada kali ini, keluarnya asy Syekh dari Tunisia menuju Mesir, sebagai ‘langkah ke tiga’ atau langkah yang terakhir, merupakan perintah Rasulullah SAW.



Bermukim di Mesir
Beberapa hari asy Syekh dan rombongan melakukan perjalanan, tibalah asy Syekh di negeri Mesir. Beliau langsung menuju ke kota Iskandaria, kota indah yang selalu Beliau singgahi setiap perjalanan haji beliau. Alkisah, pads saat asy Syekh menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu bertepatan tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban). Dan, karena takdir Allah jualah, hari itu bersamaan dengan wafatnya asy Syekh Abul Hajjaj al Aqshory, rodhiyAllahu ‘anh, yang dikenal sebagai Quthubuz Zaman pada waktu itu. Sehingga, di kemudian hari, oleh para ulama minash shiddiqin Mesir, asy Syekh Abul Hasan asy Syadzily diyakini sejak hari itu juga telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Wali Quthub menggantikan asy Syekh Abul Hajjaj al Agshory.
Kedatangan Beliau di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Mesir maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan mendengar nama beliau. Tidak hanya orang-orang dari kalangan biasa, tapi juga segenap ulama, para sholihin dan shiddiqin, para ahli hadits, ahli fiqih, dan manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan, “Marhaban, ahlan wa sahlan ! ” Pertemuan mereka dengan asy Syekh tampak begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga merupakan gudangnya para ulama besar minash sholihin di wilayah itu.
Oleh Sultan Mesir, Beliau diberi hadiah sebuah tempat tinggal yang cukup luas bernama Buruj as Sur. Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah. Kota Iskandaria (Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh keberkahan. Di komplek pemukiman Beliau itu terdapat tempat penyimpanan air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid besar, dan di sebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah (tempat tinggal para murid thoriqot untuk uzlah atau suluk).
Di tempat itu pula asy Syekh melaksanakan pernikahan dan membangun bahtera rumah tangga beliau. Dari pernikahan asy Syekh, lahirlah beberapa putra dan keturunan beliau, di antaranya: asy Syekh Syahabuddin Ahmad, Abul Hasan Ali, Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan ‘Arifatul Khair. Sebagian putra-putri Beliau itu setelah menikah kemudian menetap di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi tetap tinggal di Iskandaria menemani asy Syekh bersama ibunda mereka.
Seperti apa yang telah Beliau lakukan selama di Tunisia, di “negeri para Ulama” ini pun asy Syekh juga tetap berdakwah dan mengajar. Asy Syekh menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai pusat dakwah dan pengembangan thoriqot Beliau pada tahun 642 H./ 1244 M. Beliau kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu asy Syekh menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat untuk membai’at murid-murid beliau. Sedangkan di bagian menara yang lain, Beliau pergunakan sebagai tempat untuk “menyalurkan hobby” Beliau selama ini, yaitu khalwat. Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, Beliau juga memiliki aktifitas rutin mengajar.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian Beliau dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga dan petinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka. Para orang-orang alim dan sholeh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan pengajian-pengajian beliau, yang datang dari barat maupun timur, mereka semua merasa kagum dengan apa yang disampaikan oleh asy Syekh. Bahkan, tidak sampai berhenti di situ saja. Mereka kemudian juga berbai’at kepada asy Syekh sekaligus menyatakan diri sebagai murid beliau.
Dari deretan para ulama itu, terdapat nama-nama agung, seperti: Sulthonul ‘Ulama Sayyid asy Syekh ‘Izzuddin bin Abdus Salam, asy Syaikhul Islami bi Mishral Makhrusah, asy Syekh al Muhadditsiin al Hafidh Taqiyyuddin bin Daqiiqil ‘led, asy Syekh al Muhadditsiin al Hafidh Abdul ‘Adhim al Mundziri, asy Syekh Ibnush Sholah, asy Syekh Ibnul Haajib, asy Syekh Jamaluddin Ushfur, asy Syekh Nabihuddin bin’Auf, asy Syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan al Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka al Imamul Akbar Sayyidisy Syekh Muhyiddin Ibnul Arabi, rodhiyAllahu ‘anh, wafat tahun 638 H./1240 M.), serta masih banyak lagi yang lainnya. Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh asy Syekh, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan asy Syekh untuk berdakwah adalah di perguruan “Al Kamilah”.
Selain dakwah dan syiar Beliau melalui majelis-majelis pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf, semakin berkembang dan mengalami kemajuan pesat, thoriqot yang Beliau dakwahkan pun semakin berkibar. Orang-orang yang datang untuk berbaiat dan mengambil barokah thoriqot Beliau datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai dari masyarakat umum hingga para ulama, para pejabat hingga rakyat jelata. Zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan ruhani, yang Beliau dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santri beliau.
Thoriqot yang asy Syekh terima dari guru beliau, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau dakwahkan secara luas dan terbuka. Sebuah thoriqot yang mempunyai karakter tasawuf ala Maghribiy, yaitu lebih memiliki kecenderungan dan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan. Dalam pandangan thoriqot ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan, semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk “lari” kepadaAllah SWT.
Selain itu, thoriqot yang Beliau populerkan ini juga dikenal sebagai thoriqot yang termudah dalam hal ilmu dan amal, ihwal dan maqam, ilham dan maqal, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai ke hadirat Allah SWT. Di samping itu, thoriqot ini juga terkenal dengan keluasan, keindahan, dan kehalusan doa dan hizib-hizibnya.
Di samping kiprah Beliau dalam syiar dan dakwah serta pembinaan ruhani bagi para murid-muridnya, asy Syekh juga turut secara langsung terjun dan terlibat dalarn perjuangan di medan peperangan. Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara salib bermaksud hendak membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan menaklukkan seluruh jazirah Arab. Asy Syekh, yang kala itu sudah berusia 60 tahun lebih dan dalam keadaan sudah hilang pengelihatan, meninggalkan rumah dan keluarga berangkat ke kota Al Manshurah. Beliau bersama para pengikutnya bergabung bersama para mujahidin dan tentara Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki kota pelabuhan Dimyat (Demyaat) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke kota Al Manshurah.
Selain syekh Abul Hasan, tidak sedikit para ulama Mesir yang turut berjuang dalam peristiwa itu, antara lain: al Imam syekh Izzuddin bin Abdus Salam, syekh Majduddin bin Taqiyyuddin Ali bin Wahhab al Qusyairi, syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan syekh Majduddin al Ikhmimi. Para shalihin dan ulama minash shiddiqin itu, di waktu siang hari berpeluh bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya demi tetap tegaknya panji-panji Islam. Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Allah SWT, dengan melakukan sholat dan menengadahkan tangan untuk berdoa dan bermunajat kepada “Sang Penguasa” agar kaum muslimin memperoleh kemenangan. Setelahh selesai mereka beristighotsah, di tengah kepekatan malam, mereka kemudian mengkaji dan mendaras kitab-kitab, terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara lain: Ihya Ulumuddin, Qutul Qulub, dan ar Risalah.
Dan, alhamdulillah, karena anugerah Allah jualah akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh kaum muslimin. Raja Louis IX beserta para panglima dan bala tentaranya berhasil ditangkap dan ditawan. Perlu diketahui, sebelum berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam asy Syekh, dalam mimpi beliau, bertemu dengan Rasulullah SAW. Pada waktu itu, Rasulullah SAW berpesan kepada Beliau supaya memperingatkan Sultan agar tidak mengangkat pejabat-pejabat yang lalim dan korup. Dan Rasulullah menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Maka, pada pagi harinya asy Syekh pun mengabarkan berita gembira itu kepada teman-teman seperjuangan beliau. Dan kenyataannya, setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, maka kemenangan pun datang menjelang. Peristiwa berjayanya kaum muslimin itu terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H./1257 M. Usai peperangan itu asy Syekh lalu kembali ke Iskandaria.



Wafatnya Asy Syekh Abil Hasan Asy Syadzily
Asy Syekh menjalankan dakwah dan mensyiarkan thoriqotnya di negeri Mesir itu sampai pada bulan Syawal 656 H./1258 M. Pada awal bulan Dzul Qa’dah tahun itu juga, terbetik di hati asy Syekh untuk kembali menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu kuat mendorong hati beliau. Maka, kemudian diserukanlah kepada seluruh keluarga Beliau dan sebagian murid asy Syekh untuk turut menyertai beliau. Ketika itu asy Syekh juga memerintahkan agar rombongan membawa pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa agak aneh bagi para pengikut beliau. Pada saat ada seseorang yang menanyakan tentang hal itu, asy Syekh pun menj awab, “Ya, siapa tahu di antara kita ada yang meninggal di tengah perjalanan nanti.”
Pada hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan dalam jumlah besar itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al Mukarromah. Pada saat perjalanan sampai di gurun ‘Idzaab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di desa Khumaitsaroh, yaitu antara Gana dan Quseir, asy Syekh memberi aba-aba agar rombongan menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Setelah mereka semua berhenti, lalu didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelah mereka sejenak melepas penatnya, lalu asy Syekh meminta agar mereka semua berkumpul di tenda asy Syekh.
Setelah para keluarga dan murid Beliau berkumpul, lalu asy Syekh memberikan beberapa wejangan dan wasiat-wasiat Beliau kepada mereka. Di antara wasiat yang Beliau sampaikan, asy Syekh mengatakan, “Wahai anak-anakku, perintahkan kepada putra-putramu agar mereka menghafalkan HIZIB BAHRI. Karena, ketahuilah bahwa di dalam hizib itu terkandung Ismullahil a’dhom, yaitu nama-nama Allah Yang Maha Agung.”
Kemudian, setelah asy Syekh menyampaikan pesan-pesan Beliau itu, lalu asy Syekh bersama dengan murid terkemuka beliau, asy Syekh Abul Abbas al Marsi, meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, sepasang insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula, di mana pada waktu itu seluruh keluarga dan para murid Beliau masih menunggunya. Setelah asy Syekh kembali duduk bersama mereka lagi, kemudian Beliau berkata, “Wahai putera-puteraku dan sahabat-sahabatku, apabila sewaktu-waktu aku meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian memilih Abul Abbas al Marsi sebagai penggantiku. Karena, ketahuilah bahwa dengan kehendak dan ridho Allah SWT, telah aku tetapkan dia untuk menjadi khalifah yang menggantikan aku setelah aku tiada nanti. Dia adalah penghuni maqom yang tertinggi di antara kalian dan dia merupakan pintu gerbang bagi siapa saja yang menuju kepada Allah SWT.”
Pada waktu antara maghrib dan ‘isya, Beliau tiba-tiba berkehendak untuk mengerjakan wudhu. Kemudian Beliau memanggil asy Syekh Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, rodliyAllahu ‘anh, salah satu putera beliau, “Hai Muhammad, tempat itu (asy Syekh menunjuk ke sebuah timba) agar engkau isi dengan air sumur itu.” Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya me¬mang tidak tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai.
Mengetahui air sumur itu asin, maka putra Beliau itu pun memberanikan diri untuk matur dengan mengatakan, “Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan yang hamba bawa ini air tawar.” Syekh Syarafuddin menawarkan kepada Beliau air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa sebagai bekal di perjalanan. Kemudian asy Syekh mengatakan, “Iya, aku mengerti. Tapi, ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada dalam pikiran kalian.” Selanjutnya oleh putera Beliau itu lalu diambilkan air sumur sebagaimana yang asy Syekh kehen¬daki. Setelah selesai berwudhu, kemudian asy Syekh berkumur dengan air sumur yang asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali. Setelah itu Beliau memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali ke dalam sumur. Sejak saat itu, dengan idzin Allah Yang Maha Agung, air sumur itu seketika berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin membesar. Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik.
Setelah itu kemudian asy Syekh mengerjakan sholat ‘isya lalu diteruskan dengan sholat-sholat sunnat. Tidak berapa lama kemudian asy Syekh lalu berbaring dan menghadapkan wajah Beliau kepada Allah SWT (tawajjuh) seraya berdzikir sehingga, kadang-kadang, mengeluarkan suara yang nyaring, sampai-sampai terdengar oleh para murid dan sahabat-sahabat beliau. Pada malam itu tiada henti-hentinya asy Syekh memanggil-manggil Tuhannya dengan mengucapkan, “Ilaahiy, ilaahiy, ” (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku, ………..). Dan kadang-kadang pula Beliau lanjutkan dengan mengucapkan, “Allahumma mataa yakuunul liqo’ ?” (“Ya Allah, kapan kiranya hamba bisa bertemu?”). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid asy Syekh dengan penuh rasa tawadhu’, saling bergantian menunggui, merawat, dan mendampingi beliau.
Ketika waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu menjelang terbitnya fajar, setelah asy Syekh sudah beberapa saat terdiam dan tidak mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa asy Syekh sudah nyenyak tertidur pulas. Asy Syekh Syarafuddin perlahan-lahan mendekati beliau. Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera Beliau itu lalu menggerak-gerakkan tubuh asy Syekh. Sedikit terkejut dan tertegun syekh Syarafuddin mendapatinya, karena asy Syekh al Imam al Quthub, rodhiyallahu ‘anh, ternyata sudah berpulang ke rohmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji ‘un. Ketika itu Beliau berusia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah SAW.
Setelah sholat subuh pada pagi hari itu, jasad asy Syekh nan suci pun segera dimandikan dan dikafani oleh keluarga dan para murid beliau. Sedangkan ketika matahari mulai tinggi, semakin banyak pula para ulama, shiddiqin, dan auliya’ulloh agung berduyun-duyun berdatangan untuk berta’ziyah dan turut mensholati jenazah beliau, termasuk di antaranya kadinya para kadi negeri Mesir, asy Syekh al Waly Badruddin bin Jamaah. Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat kerajaan. Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di tempat itu, selain untuk memberikan penghormatan kepada sang Imam Agung. 

DOWNLOAD MP3 KAJIAN HIKAM DARI MULAI HIKMAH KE-1 DAN SETERUSNYA

 Selamat Datang di Blog Saya, saya do'akan sobat semua sehat selalu, bagi sobat yang membutuhkan kajian hikam perhikmah dari mulai hikam...